Selasa, 23 September 2014

Inilah PR "Anak Kelas 2" SD Yang "Membuat Heboh Facebook”

Heboh PR matematika murid SD, guru diminta tidak kaku menilai

Beberapa hari yang lalu ada posting yang membuat heboh media sosial. Kasusnya adalah sebagai berikut: Habibi, murid kelas 2 SD di Jawa Tengah hanya mendapat nilai 20 dari 10 soal matematika pekerjaan rumah (PR) yang dikerjakan karena jawabannya tidak sesuai dengan standar sang guru. Peristiwa ini bisa terjadi karena guru itu dinilai kurang tanggap dengan perkembangan Matematika siswanya.. 

Kakak dari siswa tersebut turut membantu. Celakanya, jawaban sang kakak bukannya menghasilkan nilai 100 tetapi hanya dihargai 20 alias: hampir semua jawaban ’salah’. Tanda kutip di sini artinya menurut versi guru. Akibatnya sang kakak melakukan protes dengan menulis paragraf pembelaan dengan argumen bahwa 4 x 6 sama dengan 6 x 4.

1411369170170430967

Reaksi pertama saya sebagai seorang guru dan ilmuwan tentu adalah perasaan terusik. Bagaimanapun seorang guru dikirimi surat ‘cinta’ dari orang yang tidak seharusnya mengerjakan PR-nya tampak sebagai suatu ‘pelecehan’. Tetapi otak rasional yang terasah akan segera menyampingkan semua perasaan dan mengakifkan koneksi ‘logika’.

Ok mari kita bahas soal nomor 1. saja karena soal berikutnya adalah identik.

4 + 4 + 4+ 4 + 4+ 4 =  .....  x ..... = .......

soal ini sangat sederhana karena memang merupakan soal penjumlahan dan perkalian bilangan bulat. Jujur saja kalau Anda diberikan soal seperti ini pasti jawabannya langsung keluar. Saya yakin jawabannya hampir berimbang antara 4 x 6 dan 6 x 4 bahkan yang kreatif mungkin akan menuliskan 4 x 2 x 3 atau bahkan -4 x -6 atau versi lain yang juga menghasilkan hasil sama dengan 24.

Tapi dari cara guru tersebut menilai jawaban si anak, tampaknya bahwa satu-satunya jawaban yang valid atau benar hanyalah 6 x 4, atau ada 6 kali angka 4. Jawaban ini mungkin adalah jawaban yang sesuai dengan contoh sang guru juga mungkin berdasarkan argumen bahwa proses penghitungan harus sesuai karena misalnya minum obat 3 kali sehari tidak sama dengan satu kali 3. Lantas siapa yang benar?

Sebenarnya jawabannya tidak sulit kalau kita memahami fondasi matematika. Matematika adalah ilmu yang mempelajari bilangan, struktur, dan transformasi/operasi terkait. Dalam matematika setiap bilangan dikelompokkan dalam bentuk himpunan berdasarkan sifat-sifat yang melekat padanya. Misalkan dikenal klasifikasi bilangan prima yang merupakan anggota himpunan bilangan bulat. Selanjutnya bilangan bulat merupakan himpunan bilangan rasional dst. Kemudian operasi matematika yang melekat pada himpunan tertentu mengikuti sejumlah ketetapan atau aksioma. Misalkan, perkalian dua bilangan bulat atau secara lebih umum bilangan rasional bersifat komutatif artinya

jika A dan B adalah himpunan bilangan rasional maka A B = B A atau AB - BA = 0
juga berlaku sejumlahan aturan main lainnya seperti sifat tertutup (closed) yakni

A B juga harus merupakan himpunan bilangan rasional dan bukan himpunan bilangan irrasional misalnya. Juga dikenal sifat asosiatif, distributif dll.. Setiap formulasi ilmiah apakah itu dalam fisika, biologi, kimia, dll mengikuti aturan ini.

Dalam matematika yang dimaksud dengan pandangan yang berbeda adalah satu hal yang bisa dinyatakan oleh lebih dari satu ekspresi. Misalkan dalam fisika dikenal sebuah transformasi fourier yang menggambarkan suatu fungsi dalam kerangka berbeda (misalnya menghubungkan koordinat posisi dan koordinat momentum) namun informasi yang dikandung sama. Begitu juga 4 + 4 + 4 + 4 + 4 + 4 bisa diartikan 4-nya ada 6 kali dan ada 6 kali angka 4. Jika seorang anak selalu menggunakan 6 x 4 maka ia akan menjadi bingung jika ada orang yang menukarkan posisi padahal keduanya valid. Jadi tidak ada sudut pandang yang istimewa semua sudut pandang yang tidak bertentangan dengan validitas aturan operasi yang melekat pada himpunan bilangan harus merupakan jawaban yang sah. Anda mungkin berpikir bahwa saya terlalu jauh menafsirkan suatu aturan untuk anak SD namun hal ini akan dibawa terus dan yang dibutuhkan adalah konsistensi. Bahwa x disini adalah operasi matematik yang melambangkan perkalian jadi ada 6 kali angka 4 dan angka 4 nya ada 6 kali itu sama. Dua representasi yang setara. Jadi secara asas kebenaran yakni asas logika matematika yang valid si anak itulah yang benar! Karena ia menggunakan sifat komutatif dari operasi perkalian bilangan rasional.

Namun perlu digarisbawahi bahwa operasi perkalian dalam matematika tidak selalu komutatif. Misalkan jika A dan B adalah matriks maka secara umum A B tidak sama dengan B A , hanya jika kedua matriks A dan B bisa didiagonalisasi artinya hanya komponen diagonalnya saja yang bisa bernilai sedangkan komponen lainnya nol maka operasi komutatif berlaku. Contoh lainnya adalah jika A dan B adalah operator atau suatu yang baru memiliki nilai ketika dioperasikan pada sesuatu katakanlah fungsi f, secara umum tidak harus komutatif. Misalkan operator diferensial dalam fisika biasanya tidak selalu komutatif.

Ada argumen kontra bahwa maksud guru di sini mengajarkan proses perkalian, sehingga argumen di atas tidak bisa digunakan. Misalkan minum obat tiga kali sehari kan tidak sama dengan satu kali tiga, atau cicilan motor 20 kali 12 tidak sama dengan 12 kali 20. Di sini saya bisa membantah argumen tersebut sebagai berikut: 

Apakah ‘kali’ dalam kalimat sebelumnya adalah operator matematika dan A dan B adalah bilangan bulat atau rasional? 

Jika Anda katakan itu tidak sama maka kali di sini BUKAN operator matematika tetapi suatu makhluk lain misalkan bermakna linguistik: sebanyak n dalam waktu….

Jika Anda anggap sama maka Anda harus konsisten menerapkan definisi:
A= penggunaan dan B = obat, sedangkan A=3 dan B=1

Maka A B = 3 kali penggunaan x 1 dosis obat = 1 dosis obat x 3 kali penggunaan

Tidak bisa variabel obatnya (B) pindah ke penggunaan (A) karena definsisinya sudah ditetapkan di awal. Ini yang saya maksud dengan PRESISI dalam berhitung tidak asal asalan.

Jadi tidak bisa aturan linguistik seperti frase MD atau DM yang bermakna lain (menerangkan diterangkan) disamakan dengan operasi matematika. Kalau disamakan maka harus ikut DM = MD kalau tidak maka formulasi alam tidak bisa digunakan alias break down. Contoh luas segitiga adalah 1/2 A t, sama saja jika dikerjakan 1/2 t A atau A 1/2 t karena ketiganya adalah bilangan rasional bisa dikomutasikan. Jadi pola pikir satu solusi bisa bermasalah!

Seharusnya murid harus diajarkan fondasi matematiknya dulu kemudian dijelaskan bahwa kali dalam bahasa sehari hari tidak selalu sama dengan simbol kali x dalam matematika. Anak harus lebih banyak mengenal struktur dan bilangan misalnya dalam bentuk  gambar atau objek ketimbang masuk ke operasi matematis yang formal. Kreativitas harus didahulukan. 

Ada kecenderungan bahwa pendidikan saat ini terlalu membebani anak dengan hal hal yang belum sesuai dengan perkembangan otak. Berikan ilustrasi dalam bentuk visual misalkan mengenai penggunaan obat sebanyak tiga kali sehari TANPA simbol x dalam matematika karena simbol itu jika dioperasikan pada 2 biloangan rasional bersifat komutatif. Kali dalam ranah linguistik seperti minum obat 3 kali bukan operasi matematika kalau ya maka bisa saja minum obatnya 3 x -1 x -1 x 2 x 1/2!!!

Jawaban soal di atas sudah benar, bahkan karena kedua ruas adalah angka bukan variabel maka tanda sama dengan mengijinkan sejumlah takhingga solusi yang benar, asalkan jumlah kedua ruas sama. Menyuruh siswa untuk menjawab sesuai guru bisa berbahaya karena di masa depan ia akan berpikir argumen by authority atau kuasa ketimbang argument by PROOF.

Jadi bagaimana mengajarkan pada anak? Menurut saya kita harus JUJUR bahwa dalam matematika 4 x 6 sama dengan 6 x 4 tapi kalau dalam sehari hari harus hati hati karena kata kali disini berbeda dengan yang di matematik. Memang kadang kebenaran itu sulit tapi suatu saat ketika si anak sudah mulai lebih tahu dia akan memahami bahwa apa yang dikatakan sang guru itu adalah ’sahih’

Quod erat dozentum, eh salah demonstrandum (PROOF)!!!!


Hikmah apa yang bisa dipetik dari peristiwa memalukan ini ?


Peristiwa ini bisa terjadi karena guru itu dinilai kurang tanggap dengan perkembangan Matematika siswanya.

"Berhati-hatilah dan carilah metode yang paling efektif ketika memberi evaluasi kepada anak seusia Habibi," kata Adi Rio Arianto, pemerhati ilmu matematika melalui e-mailnya kepada merdeka.com, Senin (22/9).

"Terlepas dari anak tersebut yang sedikit perlu belajar lagi atau pendidiknya yang kurang tanggap dengan perkembangan matematika siswanya, saya pikir ini adalah masalah besar yang akan menentukan kualitas generasi manusia Indonesia ke depan. Manusia yang sudah mendapatkan pendidikan hari ini mestilah menjadi penentu bagi sejarah bangsa yang kesemuanya akan bergantung pada kualitas anak didik hari ini," imbuh Adi.

Dia menilai, apa yang sedang terjadi pada anak seusia Habibi adalah pelajaran besar bagi para penggiat ilmu matematika di seluruh Indonesia. 

"Mungkin ini terkesan sepele, namun ini adalah persoalan soft-skill anak bangsa Indonesia. Yah, ini menyangkut masa depan anak-anak Indonesia terkait perkembangan ilmu matematika yang mereka tekuni termasuk saya yang sudah berkecimpung dengan matematika sejak 24 tahun silam," ujarnya.

Beberapa pertimbangan khusus ini jika tidak dilihat secara mendalam, kata Adi, jelas akan merugikan perkembangan dan kemampuan intelektual seseorang, tidak hanya bagi Habibi, tetapi juga bagi anak-anak lain yang baru akan, sedang, dan yang sudah menempuh pendidikan dasar seusia nya.

"Bagaimanapun juga anak-anak punya hak dasar untuk memperoleh pendidikan yang layak yang dibarengi dengan metode yang layak pula. Saya pikir tidak hanya pihak institusi Komnas Anak-Anak, Asosiasi Pemerhati Ilmu Matematika Se-Indonesia, tetapi juga para pendidik termasuk orang tua siswa perlu mengevaluasi peristiwa di atas," pungkasnya.


Tanggapan Kemendiknas.


Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan kaget mendengar kasus ada siswa yang pekerjaan rumah (PR) Matematika-nya hanya mendapat nilai 20 meski jawabannya benar. Siswa tersebut mendapat ponten merah karena angka yang dia letakkan tak sesuai dengan jawaban yang diinginkan guru meski pada dasarnya jawabannya sama. 

Humas Kemendikbud, Ibnu Hamad, angkat bicara mengenai kasus ini. Dia menilai si guru agaknya kurang paham soal dua aspek penilaian dalam Kurikulum 2013 yang menyebut siswa harus diajarkan kemampuan dan penalaran. Untuk kasus di atas, sebenarnya siswa menggunakan nalarnya.

"Seharusnya tidak terjadi itu, tidak musim lagi guru yang tidak sesuai dengan pikirannya lalu dianggap salah. Itukan nalar dia, harusnya penalarannya dihargai gurunya, selama masih masuk nalar boleh dong, kecuali hasilnya menjadi kurang," kritik Ibnu, saat berbincang dengan merdeka.com, Senin (22/9).

Ditambahkan Ibnu, harusnya si guru yang telah mendapat pelatihan Kurikulum 2013 bisa mengimplementasikan dengan baik pada siswa. Dia segera mengingatkan pihak Dinas Pendidikan terkait untuk menindaklanjuti kasus ini. 

Penyusun : Yohanes Gitoyo
Sumber : 
  1. http://humaniora.kompasiana.com/, 22 September 2014, 14:36 WIB.
  2. http://www.merdeka.com/, Senin, 22 September 2014 12:36 WIB.

Sabtu, 13 September 2014

Azumi Kawashima, Kisah Nyata Yang Tragis Percintaan Seorang Artis Film Dewasa (JAV) Jepang.



Artikel ini kami sajikan secara khusus dengan tujuan sebagai pembelajaran bagi anda semua para generasi muda, bahwa tujuan yang baik sebaiknya diwujudkan dengan cara yang baik, agar tujuanyang diinginkan tercapai dan tidak membawa dampak buruk bagi diri sendiri, keluarga dan masyarakat pada umumnya.

Azumi Kawashima bisa kita jadikan model bahwa cinta buta namun tulus dan disertai pengorbananpun belum cukup untuk memperoleh impian. Namun satu hal positif yang diambil, segera menyadari kesalahan dan bertobat adalah langkah yang patut diteladani.

Azumi Kawashima  adalah seorang artis film dewasa yang malang, masuk ke dunia gelap karena terpaksa untuk satu tujuan mulia, demi cinta rela melakukan apa saja termasuk pengorbanan lahir batin. Namun bukan cinta yang diperoleh, justru ia jatuh ke dalam jurang ekploitasi seks dan gemerlap dunia "hitam". Azumi Kawashima pada jamannya sangat terkenal dan populer, namun ditengah gemerlap harta dan kenikmatan dunia yang ia peroleh segera ditinggalkan dan berusaha menjadi "manusia yang baik". Semoga artikel ini membawa manfaat bagi anda semua.


Azumi Kawashima (川島和津実), (lahir di Tokyo, Jepang, 8 Agustus 1979; umur 35 tahun). Dia adalah seorang aktris Jepang yang dalam industri JAV (film dewasa Jepang) yang terkenal pada akhir dekade 90-an. Pada usia 17 tahun, dia pertama kali membintangi film porno. Dalam waktu kurang dari dua tahun, namanya dengan cepat melejit bintang JAV terpopuler dan bertarif tertinggi.


Azumi memasuki industri film porno saat itu ia berniatnya membantu pacarnya yang tengah terlilit hutang. Namun apa daya, begitu pacarnya tahu ia menjadi model bugil di majalah-majalah porno macam Urecco dan Beppin Scholl serta membintangi film-film porno, Azumi malah diputuskan. Habis manis sepah dibuang.


Selain populer di Jepang, dia juga menjadi idola di negara-negara barat, terkenal karena wajahnya yang imut dan payudaranya yang montok. Tahun 1999, Azumi mencapai puncak kesuksesannya dengan menduduki peringkat teratas dalam industri film dewasa Jepang. 

Debut video film dewasa (AV) adalah "Promise" dirilis di bawah label Try-Heart Corporation Sexia pada bulan Desember 1998. Pada bulan Januari 1999, Kawashima membintangi "Naive", untuk label Shy. Videonya berikutnya adalah untuk label Sexia, "I Want To Hold You" (Februari 1999), dan ia kembali di Shy untuk rilis April 1999, Purity, disutradarai oleh Kunihiro Hasegawa. 

Kawashima tampil di volume ketujuh film seri "Sexia's Pretty Wife", subtitle "Dangerous Love Triangle", yang dirilis pada Mei 1999. Hal ini terbukti menjadi video terakhir sebagai Kawashima pensiun dari pekerjaan AV setelah Mei 1999.
  1. 18 Desember 1998 Bond 約束(セクシア)
  2. 31 Januari 1999 Naive -純真-(シャイ企画)
  3. 26 Februari 1999 I Want To Hold You 抱きしめたい(セクシア)
  4. 23 Maret 1999 Genuine 生粋(シャイ企画)
  5. 30th April 1999 Natural(シャイ企画)
  6. 21 Mei 1999 Pretty Wife 7 プリティワイフ7(セクシア)
  7. 18 Juni 1999 Memories(シャイ企画)
  8. 14 Agustus 1999 Azu-mi-x(セクシア)
Film-filmnya total 8 judul dan 2 di antaranya diterbitkan ulang, semuanya menampilkan peran-peran fantasi konvensional seperti dalam film-film porno Jepang pada umumnya seperti sebagai perawat, istri muda, pelajar, dll. 

Di luar pekerjaan dewasanya, Kawashima juga memiliki peranan utama dalam 1999 V-Cinema film horor Demon Killer or Junreiki 殉霊鬼(じゅんれいき), disutradarai oleh Seki Akitsugu, di mana enam pria dan wanita yang tinggal di sebuah villa diserang oleh pembunuh.  


Selain karir videonya, portofolio Kawashima meliputi pelepasan 10 photobook dirilis dari tahun 1999 sampai 2003. 


Bulan September pada tahun yang sama (1999), kariernya sebagai seorang JAV idol berakhir setelah pacarnya mengetahuinya sebagai bintang film porno

Video Kawashima dan photobooknya tetap populer di Jepang setelah pensiun dan ketika pengecer Video DMM disurvei penggemar AV Jepang di awal 2012 untuk AV aktris terbaik sepanjang sejarah 30 tahun dari genre, Kawashima peringkat nomor 4 dari 100 aktris yang terdaftar . 




Karena kariernya yang singkat inilah tidak banyak film-film yang dibintanginya. Walau begitu, popularitasnya tetap hidup, beberapa filmnya telah diproduksi ulang dan dirilis. Hal ini kemungkinan karena dia tidak membintangi film-film dengan tema seks yang nyeleneh semacam hardcore, BDSM, ataupun bondage. Film-filmnya kebanyakan bertema gadis yang imut/tidak berdosa yang banyak digemari penonton Jepang. 


Setelah putus dengan pacarnya dan pensiun dari dunia hiburandia menikah dengan Seki Akitsugu, produser sekaligus sutradara film porno yang dibintanginya, Azumi menikah dan dikaruniai satu orang anak. Kini ia pensiun dari dunia pornografi dan menjadi ibu rumah tangga. 


Azumi juga pernah berkunjung ke Bali, Indonesia pada tahun 1999 untuk salah satu sesi pemotretan album fotonya.

Penyusun : Yohanes Gitoyo, S Pd.
Sumber : 
  1. http://en.wikipedia.org/wiki/Azumi_Kawashima
  2. http://id.wikipedia.org/wiki/Kawashima_Azumi
  3. http://www.lihat.co.id/

Senin, 01 September 2014

Belajar dari Kasus Penahanan Florence Sihombing UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan Bahaya Terkait Jika Tidak memahami Dengan Benar Implementasi.

Pelapor Florence 'Ratu SPBU' Tak Paham Bahaya UU ITE  

Penahanan mahasiswi Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Florence Sihombing, oleh Kepolisian Daerah DIY dinilai Aliansi Jurnalis Independen Yogyakarta berlebihan. 

Ketua AJI Yogyakarta Hendrawan Setiawan menilai Florence telah mendapatkan sanksi sosial dari masyarakat, antara lain dengan pernyataan balasan yang bersifat menghujat dan mengancam melalui media sosial ataupun telepon seluler. "Florence sudah mendapatkan sanksi sosial atas tindakannya. Kasusnya tak perlu sampai ke ranah hukum," ujar Hendrawan saat dihubungi Tempo, Ahad, 31 Agustus 2014.

Pengamat hukum pidana, Andi Hamzah, berpendapat, penahanan Florence Sihombing, mahasiswa Pascasarjana Universitas Gadjah Mada oleh Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta tak tepat. Apalagi Florence dijerat dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. “Alasan penahanan dan pasal yang dikenakan tidak sesuai,” kata Andi saat dihubungi, Sabtu, 30 Agustus 2014.


Menurut Andi, UU ITE baru bisa dikenakan pada orang yang menyebar berita fitnah dan menghina. Sedangkan Florence dinilai hanya mencurahkan pendapatnya atas sesuatu hal. Pendapat itu, ujar Andi, merupakan hak pribadi dan menjadi bagian dari proses demokrasi.

Nama Florence dikenal setelah ramai diperbincangkan di Internet. Pasalnya, Florence memaki Kota Pelajar di jejaring sosial Path dan Twitter dengan kata-kata celaan yang membuat marah warga Yogyakarta. "Jogja miskin, tolol dan tak berbudaya. Teman-teman Jakarta-Bandung jangan mau tinggal di Jogja," tulis Florence. 

Atas tulisan Florence ini, LSM Jangan Khianati Suara Rakyat (Jatisura) mempolisikannya. Ia pun dimasukkan dalam sel tahanan Polda DIY pada Sabtu, 30 Agustus 2014, sekitar pukul 17.00 WIB. Florence ditahan karena dianggap tak kooperatif dengan petugas kepolisian yang memeriksanya. 

Andi menilai penahanan Florence justru menjadi bentuk pembunuhan demokrasi. Dia khawatir tindakan Polda DIY Yogyakarta justru menjadi yurisprudensi bagi aparat hukum lainnya untuk menahan orang-orang yang menyampaikan pendapat berbeda di media sosial. 

Dosen hukum di Universitas Indonesia ini meminta masyarakat lebih terbuka dan lebih bijak dalam menyikapi perbedaan pendapat. Masyarakat juga tak perlu terpancing dengan pernyataan seseorang yang dinilai berbeda. "Kalau tidak suka dengan orang atau pernyataannya, ya, tidak usah dibaca dan dikomentari."


Penahanan Florence Sihombing bertentangan dengan KUHAP dan prosedur penahanan berdasarkan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).


Koalisi Masyarakat Sipil mengatakan, penahanan Florence Sihombing oleh Polda Daerah Istimewa Yogyakarta bertentangan dengan KUHAP dan prosedur penahanan berdasarkan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Sebab, penahanan seharusnya dilakukan untuk kepentingan penyidikan dengan syarat terhadap seseorang tersangka atau terdakwa dengan bukti yang cukup.

"Penahanan Flo hanya berdasarkan alasan hukuman di atas 5 tahun dan polisi mengabaikan tidak adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa adanya kemungkinan tersangka untuk melarikan diri, mengulangi perbuatan, dan menghilangkan barang bukti," kata Kepala Divisi Pemenuhan HAM Sipil Kontras, Alex, di kantor Kontras, Minggu (31/8).

Selanjutnya, kata Alex, berdasarkan Pasal 43 ayat (6) UU ITE, dalam melakukan penangkapan dan penahanan, penyidik melalui penuntut umum wajib meminta penetapan ketua pengadilan negeri setempat dalam waktu 1 x 24 jam. 

"Koalisi menilai bahwa ada kemungkinan justru polisi tidak mengikuti prosedur sebagaimana dalam ketentuan Pasal 43 ayat (6) UU ITE, polisi langsung melakukan penahanan tanpa penetapan dari Ketua Pengadilan Negeri untuk kasus-kasus yang dijerat UU ITE."

Florence ditahan Polda DIY setelah menjalani pemeriksaan karena laporan terkait postingannya yang dinilai menghina warga Yogyakarta, Sabtu (30/08). Florence pun dijerat dengan undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) serta pasal Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Menurut Kabid Humas Polda DIY, AKBP Anny Pujiastuti, Florence secara resmi ditangkap pada 29 Agustus kemarin pukul 17.00 WIB dan kemudian resmi ditahan pukul 17.00 WIB.

"Penangkapan terhadap Florence Sihombing berdasarkan laporan polisi nomor LP/644/VIII/2014/DIY/SPKT tanggal 28 Agustus 2014. Setelah itu dilakukan pemeriksaan di ditreskrimsus Polda," kata Anny pada wartawan di Polda DIY, Sabtu (30/08).

Pasal yang dikenakan kepada Florence dalam UU ITE yaitu pasal 27 ayat 3 jo pasal 45 ayat 1, pasal 28 ayat 2 jo pasal 45 ayat 2 UU ITE no 11 Tahun 2008. Sementara untuk KUHP Pasal 310 KUHP dan atau Pasal 311 KUHP.


Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 bisa berbahaya bagi pelapor yang tak paham aplikasinya.


Penggunaan pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik untuk menjerat Florence, menurut dia, justru menegaskan upaya pemberangusan kebebasan berpendapat dan berekspresi. Pelaporan ke polisi, tutur Hendrawan, bisa mengancam siapa pun yang melontarkan kritikan melalui media sosial

"Pihak-pihak yang melaporkan ke polisi tidak sadar kalau pasal-pasal itu justru memberi kesempatan negara untuk memberangus diri sendiri," kata Hendrawan. 

Koordinator Masyarakat Anti-Kekerasan Yogyakarta (Makaryo), Beny Susanto, menambahkan, meskipun proses hukum harus dihormati, dia meminta polisi agar tidak bersikap diskriminatif lantaran Florence juga menerima hujatan balik dan ancaman. 

"Bagaimana dengan orang-orang yang menghujat balik melalui media sosial? Semestinya, polisi juga menindaknya. Jadi, polisi harus proporsional, tidak diskriminatif," kata Beny. 

Dia juga berharap kasus tersebut tidak melebar pada bentuk-bentuk tindak kekerasan yang mengarah pada intoleransi dan kekerasan fisik. Mengingat Florence adalah pendatang di Yogyakarta. Selain itu, Florence juga mengaku telah menerima ancaman akan dibunuh dan diperkosa.

Penyusun : Yohanes Gitoyo, S Pd.
Sumber :
  1. http://www.tempo.co/.
  2. https://id.berita.yahoo.com/.