Selasa, 25 November 2014

Sejarah Panjang Hari Guru Nasional : 25 Nopember.


25 November diperingati sebagai Hari Guru Nasional. Hal itu ditetapkan oleh pemerintah Republik Indonesia berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 78 Tahun 1994.

Namun, ada sejarah panjang hingga akhirnya 25 November terpilih sebagai Hari Guru Nasional. Selain Hari Guru Nasional, 25 November 1945 juga ditetapkan sebagai hari lahir Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI).

PGRI diawali dengan nama Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB) pada 1912. Organisasi ini bersifat unitaristik yang anggotanya terdiri dari para guru bantu, guru desa, kepala sekolah, dan pemilik sekolah. Dengan latar belakang pendidikan yang berbeda-beda mereka umumnya bertugas di Sekolah Desa dan Sekolah Rakyat Angka Dua. Sejalan dengan keadaan itu, maka selain PGHB berkembang pula organisasi guru bercorak keagamaan, kebangsaan, dan sebagainya.

Dua dekade berselang, nama PGHB diubah menjadi Persatuan Guru Indonesia (PGI). Perubahan ini mengejutkan pemerintah Belanda, karena kata “Indonesia” yang mencerminkan semangat kebangsaan sangat tidak disenangi oleh Belanda. Sebaliknya, kata “Indonesia” ini sangat didambakan oleh guru dan bangsa Indonesia.

Kesadaran kebangsaan dan semangat perjuangan yang sejak lama tumbuh mendorong para guru pribumi memperjuangkan persamaan hak dan posisi dengan pihak Belanda. Hasilnya antara lain adalah Kepala HIS yang dulu selalu dijabat orang Belanda, satu per satu pindah ke tangan orang Indonesia.

Semangat perjuangan ini makin berkobar dan memuncak pada kesadaran dan cita-cita kesadaran. Perjuangan guru tidak lagi perjuangan perbaikan nasib, tidak lagi perjuangan kesamaan hak dan posisi dengan Belanda, tetapi telah memuncak menjadi perjuangan nasional dengan teriak “merdeka.”

Sayang, pada zaman pendudukan Jepang segala organisasi dilarang dan sekolah ditutup sehingga PGI tidak dapat lagi melakukan aktivitas. Namun, semangat proklamasi 17 Agustus 1945 menjadi dasar PGI untuk menggelar Kongres Guru Indonesia pada 24–25 November 1945 di Surakarta.

Melalaui kongres ini, segala organisasi dan kelompok guru yang didasarkan atas perbedaan tamatan, lingkungan pekerjaan, lingkungan daerah, politik, agama, dan suku, sepakat dihapuskan. Mereka adalah guru-guru yang aktif mengajar, pensiunan yang aktif berjuang, dan pegawai pendidikan Republik Indonesia yang baru dibentuk.

Di dalam kongres inilah, tepatnya pada 25 November 1945, PGRI didirikan. Maka, sebagai penghormatan kepada para guru, pemerintah menetapkan hari lahir PGRI tersebut sebagai Hari Guru Nasional dan diperingati setiap tahun.


Penulis : Margaret Puspitarini
Sumber : news.okezone.com, Selasa, 25 November 2014 - 00:05 wib 

Jumat, 14 November 2014

Rumah dan Sekolah: Ladang Subur Menyemai Bibit Wirausaha !

“It’s easier to build  strong children than to repair broken men”
Federick Douglass

Tahun 2013 ini, diproyeksikan sebagai tahun para usahawan oleh Bandung Entreprenuer Forum; demikian yang dilansir oleh situs Harian Seputar Indonesia pada Selasa 26 Februari 2013 lalu. Dalam warta tersebut tersirat suatu optimisme yang kuat akan masa depan wirausaha yang lebih baik serta dapat merangkul lebih banyak anggota masyarakat untuk menjadi usahawan-usahawan handal dari tahun ke tahun, khusunya pada usia produktif, dan lebih khusus lagi pada usia muda.

Sebagai sebuah gerakan, segala yang dilakukan oleh banyak organisasi-organisasi wirausaha semacam Bandung Entrepreneur Forum, dalam membangun kesadaran berwirausaha bagi masyarakat Indonesia secara luas sangatlah konstruktif dan mencerahkan. Namun, kebanyakan darinya terjebak dalam pola gerak yang cenderung latah dan instan. Sehingga mencetak out put yang kurang berkarakter. Dan akhirnya, yang muncul di permukaan hanyalah sekedar euforia tren sebuah zaman.

Kondisi semacam ini tidaklah mengherankan, karena pada awal kebangkitannya di Indonesia, kewirausahaan atau entrepreunership adalah sebuah aufklarung yang hembusannya berasal dari negara lain, walaupun sejatinya sejarah mencatat bangsa Indonesia sebagai sebuah bangsa yang sebagian besar kehidupannya ditopang oleh kegiatan entrepreuneur sejak zaman kerajaan. Heriyanti Ongkodharma Untoro dalam bukunya (Kapitalisme Pribumi Awal, Kesultanan Banten 1522-1684, Kajian Arkeolegi Ekonomi) mengungkapakan bahwa Kesultana Banten merupakan pengekspor lada terbaik dan terbesar dunia. Dan, secara umum kita mengetahui bahwa kedatangan para penjajah adalah karena harumnya rempah-rempah (komoditas) bumi nusantara.

Karena dianggap sebagai produk pemikiran dan bagian dari budaya barat, sedang Indonesia kerap mengiblatkan diri padanya, maka entrepreunership menjadi tren yang patut diikuti. Sayangnya, pemahaman atas makna entrepreneuship tersebut entah bagaimana menyempit pada ruang lingkup trading saja, atau hanya sebagai sebuah profesi (wirausahawan) saja. Lebih dari itu, entrepreneur merupakan suatu bentuk gaya hidup yang terefleksi pada karakter dan watak, bukan sekedar karier atau pekerjaan.

Geoffrey G. Meredith et al dalam bukunya (Kewirausahaan Teori dan Praktek),  memberikan definisi entrepreneur sebagai: orang-orang yang memiliki kemampuan melihat dan menilai kesempatan-kesempatan bisnis, mengumpulkan sumber-sumber daya yang dibutuhkan guna mengambil keuntungan dari padanya dan mengambil tindakan yang tepat guna memastikan sukses. Ia pun memaparkan bahwa para wirausaha (entrepreneur) adalah mereka yang selalu berorientasi pada tugas dan hasil dan bermotivasi tinggi yang juga berani mengambil resiko dalam tujuannya. Lebih jelas lagi, Goeffrey G. Meredith memberikan ciri-ciri mereka yang berjiwa wirausaha; yaitu: memiliki percaya diri, berjiwa kepemimpinan, memiliki orisinalitas (inovatif dan kreatif) dan, berorientasi pada masa depan.

Bersandar pada pemahaman makna entrepreneur tersebut, mencetak wirausaha-wirausaha yang handal dan benar-benar berjiwa wirausaha nampaknya bukanlah sesuatu yang dapat dilakukan dengan kilat, sebagaimana manusia diajari untuk mampu berjalan dengan baik dan benar. Tidak sekonyong-konyong dapat menggerakkan kakinya begitu saja dan berjalan atau berlari. Mencetak seorang wirausaha adalah mencetak seorang pribadi dengan kualifikasi karakter tertentu, diluar dan bersamaan dengan keunikan dan potensinya sebagai pribadi. Ini adalah sebuah proses yang bertahap dan berkesinambungan, layaknya suatu proses pendidikan karakter, harus dimulai sejak dini.

Kegiatan pendidikan wirausaha  sejak dini ini seyogyanya diawali dari rumah, karena rumah adalah kelas pertama yang dikenal oleh manusia (anak) sejak ia lahir dan belajar membuka mata serta membunyikan pita suaranya. Selanjutnya, setelah usianya mencukupi untuk bersekolah, maka sekolah ikut pula berperan dalam pengembangan kepribadian dan kecakapannya kemudian.


Rumah


Seorang wirausaha yang sukses dapat dipastikan memiliki mental tahan banting, tidak mudah menyerah dan mampu mengelola stres dengan baik. Sikap mental ini biasanya kita sebut dengan optimis. Maka, seorang wirausaha sukses adalah ia yang selalu optimis.

Femi Olivia dan Lita Ariani, S.Sp dalam bukunya (Inner Healing @School) menuliskan bahwa ada beberapa bahan baku utama dalam membentuk manusia yang dapat mengelola stres dengan baik dan tahan banting (optimis), yaitu: 1) sehat fisik dan mental; 2) Pola asuh dan; 3) lingkungan yang kondusif.

Menilik pada tulisan tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa salah satu hal yang harus diperhatikan dalam proses membentuk seorang wirausaha adalah pola asuh. Pola asuh ini sangatlah erat kaitannya dengan rumah, dengan keluarga, khususnya orang tua.

Orang tua atau keluarga sebagai orang-orang pertama yang bersentuhan secara langsung dengan individu-individu baru (anak-anak) adalah orang-orang yang memberi pengaruh pertama, setidaknya kesan pertama, baik banyak ataupun sedikit; dimana pengaruh atau kesan tersebut akan membekas dalam memori yang dapat memengaruhi perkembangan individu tersebut dalam jangka panjang. Oleh karenanya, keluarga di rumah memiliki urgensitas tinggi terhadap pembentukan karakter seorang anak, dalam hal ini membentuk jiwa wirausahanya.

Secara umum, orang tua memiliki ekspektasi yang besar terhadap anak-anaknya untuk menjadi pribadi yang unggul. Maka, dapat dipastikan setiap orang tua menginginkan anak-anak tersebut dapat berproses menjadi seseorang yang berjiwa wirausaha yang selalu optimis, karena orang tua juga menyadari bahwa tantangan masa depan akan semakin besar sehingga sikap optimis tersebut sangat penting dimiliki oleh anak.

Mendidik anak menjadi wirausaha bukan hanya bermakna mendidik anak menjadi pedagang. Lebih dari itu, mendidik anak menjadi wirausaha adalah mendidik ia menjadi pribadi yang unggul dengan karakter-karakter yang memang semestinya dimiliki oleh seorang manusia yang hidupnya berkualitas.


Sekolah


UU No.20 Tahun 2003 pada Bab IV Pasal 6 menyebutkan: “Setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar”. Sementara itu, pada Bab VI Pasal 17 tercantum: “Pendidikan dasar berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat.” Dan Bab IV Pasal 7 berbunyi:” Orang tua dari anak usia wajib belajar, berkewajiban memberikan pendidikan dasar kepada anaknya.”

Berdasar pada undang-undang tersebut, maka penyelenggara pendidikan (sekolah) juga ikut andil dalam mencetak seorang wirausaha, karena sebagian waktu anak dihabiskan di sekolah. Selain itu, sekolah dapat menjadi wahana yang potensial untuk pengembangan diri, dalam hal ini pembentukkan karakter wirausaha, karena di sanalah seseorang dididik secara formal untuk menjadi lebih baik, untuk mempersiapkan masa depannya dengan beragam ilmu dan keterampilan.

Namun sangat disayangkan, sekolah yang seharusnya dapat berperan besar terhadap pembentukan karakter wirausaha belum dilengkapi dengan kurikulum yang menunjang. Secara umum, entrepreneurship belum berkembang dalam sistem pendidikan di Indonesia. Urgensitas pendidikan karakter wirausaha sejak dini belum begitu dianggap, sehingga hampir absen sama sekali dalam perangkat kurikulum pendidikan nasional. Jika pun ada pada jenjang pendidikan menengah, yaitu pada Sekolah Menengah Kejuruan (SMK); orientasinya belum jelas. Sebab, pada akhirnya SMK lebih banyak meluluskan buruh (lulusan siap kerja) saja. Pendidikan kewirausahaan pada SMK pun belum menyentuh pada pendidikan karakter. Alhasil, pencetakkan wirausahawan muda pada fase ini mengalami stagnasi, bahkan mati.

Rumah dan sekolah seyogyanya dapat menjadi ladang yang subur untuk menyemai bibit-bibit wirausaha yang unggul. Sebab, pendidikan wirausaha adalah pendidikan karakter yang seharusnya dimulai sejak dini. Jiwa kepemimpinan, kemandirian, disiplin, optimis, inovatif bukanlah sebuah proses yang singkat. Orang dengan jiwa-jiwa kewirausahaan semacam ini diharapkan dapat menjawab setiap tantangan zaman yang kian waktu kian dahsyat. Dan, membentuk jiwa suatu individu tentulah lebih mudah dilakukan pada masa ia mulai tumbuh, dibandingkan ketika ia telah mendapati bentuknya. Memang bukan hal yang mustahil untuk mendidik siapapun, kapan pun. Hanya saja, prosesnya akan lebih sulit dan hasilnya tidak akan maksimal. Sebagaimana yang dikatakan oleh Federick Douglass.

Sumber : http://saadatunnisafaisol.wordpress.com/.

Senin, 10 November 2014

Saatnya Kita Merenung Kembali Arti Kepahlawanan.

NOAH - HERO (Official Video)

Hari ini tanggal 10 Nopember 2014 kita memperingati "Hari Pahlawan", gema kepahlawanan bergaung di seluruh pelosok Indonesia. Kita mengenang jasa mereka yang telah gugur demi kemerdekaan kita dari derita penjajahan. 

Adalah sebuah keprihatinan bagi kita para generasi tua, untuk para generasi muda yang merasa "mereka "belum merdeka". Ya mereka memang belum pernah merasakan bagaimana sengsaranya orang yang "terjajah". Mereka merasa belum merdeka karena adanya pemahaman: Merdeka adalah kebebasan melakukan tindakan yang mereka sukai tanpa larangan, baik dari undang-undang, peraturan adat, kebiasaan disiplin dikeluarga, dan lain-lain. Kemerdekaan adalah kebebasan melakukan aktivitas kehidupan dengan tetap memperhatikan hak dan kewajiban sebagai warga negara, warga masyarakat dalam kerangka dan batasan bertanggungjawab.

Kita sering melihat anaik-anak muda merasa terjajah oleh perasaan "galau" oleh sebab-sebab yang sepele. Dan bagi mereka rasa galau bisa serasa kiamat bagi kehidupan mereka. 

Saatnya kita bangkit, kita berdiri dan memandang masa depan kita ":
  1. Bagi pahlawan kita berdoa semoga arwah mereka diterima disisi Tuhan dan diberikan penghargaan yang layak sesuai amal dan jasanya, 
  2. Bagi pahlawan yang masih hidup kita berikan penghargaan dengan penghormatan atas pengabdiannya terhadap pendirian dan perintisan pembangunan Indonesia.
  3. Bagi anda dan saya jadilah pahlawan masa kini yang menebar kebaikan terhadap sesama melalui karya dan usaha kita dalam memajukan dan mengharumkan nama bangsa.


Terlepas dari semuanya itu hidupkan semangat kepahlawanan sesuai jaman masa kini, dimana kepahlawanan adalah berbuat kebaikan bagi mereka yang membutuhkan. dan perlu kita pahami oleh mereka yang kita bantu kita bisa juga disebut "PAHLAWAN".