Selasa, 30 Desember 2014

Transfer For Payment, Layanan Transfer Antar Bank Yang Semakin Eksis.s


Transfer For Payment menjadi varian produk baru yang merupakan pengembangan dari layanan Transfer Antarbank yang sebelumnya telah eksis. Diyakini, layanan ini akan memenuhi kebutuhan nasabah karena tidak hanya melayani nasabah perbankan, namun juga non perbankan.

Perkembangan transaksi pembayaran elektronis yang terus meningkat saat ini turut dipicu oleh beralihnya perilaku bertransaksi nasabah dari konvensional ke arah elektronis. Edukasi yang dilakukan Bank Indonesia (BI) hingga kalangan perbankan terkait program Less-cash Society perlahan mulai menunjukkan signal positif.


Nasabah terus memanfaatkan berbagai delivery channel, seperti ATM, EDC, Internet Banking dan sebagainya untuk memenuhi kebutuhan transaksi perbankannya. Sementara dari sisi perbankan, perbankan terus melakukan inovasi-inovasi layanan demi menciptakan kemudahan bagi nasabah. Salah satunya adalah fokus pada pengembangan layanan elektronis bagi nasabah.

Selain perbankan, industri non-perbankan pun saat ini turut masuk dan memeriahkan era persaingan transaksi pembayaran elektronis. Sektor barang dan jasa menjadi sasarannya, mengingat di zaman teknologi seperti saat ini di mana kebutuhan barang dan jasa semakin tinggi maka non-perbankan pun turut mengambil kue di industri ini. Tren E-Commerce yang sedang happening saat inilah yang merupakan jawabannya.

Sebagai pelaku di industri sistem pembayaran nasional, Artajasa melihat Industri E-Commerce menjadi pintu masuk dalam upaya melakukan pengembangan layanan khususnya bagi kalangan non-perbankan. Melihat tingginya tren peningkatan transaksi transfer antarbank melalui jaringan ATM Bersama dalam lima tahun terakhir, Artajasa pun meluncurkan layanan Transfer For Payment (TFP) yang akan menjembatani kebutuhan nasabah perbankan maupun non-perbankan dalam melakukan transaksi pembayaran online.

BI sendiri mencatat sepanjang Januari – Juli tahun 2013 saja, untuk layanan transfer antarbank mampu mencapai hampir 150 juta transaksi. Walaupun volumenya belum menyamai transaksi tarik tunai, namun hasil ini menggambarkan bahwa awareness nasabah terus membaik.  


TFP sendiri adalah sebuah mekanisme pembayaran online berbasis virtual account dengan menggunakan fitur transfer antar bank pada jaringan ATM Bersama yang saat ini juga telah terkoneksi dengan jaringan Prima dan ALTO, di mana nasabah dari ketiga jaringan ATM tersebut dapat melakukan pengiriman dana dari rekening bank mereka ke suatu rekening tujuan tertentu (virtual account) dengan memasukkan kode 987 sebagai kode bank tujuan dan sejumlah digit angka yang akan digunakan sebagai kode bayar.

Hadirnya TFP ini pun dilatar belakangi oleh terbatasnya kemampuan bagi biller/merchant skala kecil dan menengah untuk dapat terkoneksi dengan delivey channel pembayaran milik perbankan. Artajasa yang memiliki pengalaman terkoneksi dengan industri perbankan melalui layanan ATM Bersama tentunya mencoba memberikan solusi Transfer For Payment yang efektif dan efisien bagi kalangan non-perbankan seperti biller/merchant.

Sektor ritel tak ayal menjadi salah satu targer pasar layanan ini. Selain itu lembaga keuangan selain bank pun menjadi potensi besar yang dapat dijangkau oleh TFP. Beberapa industri tersebut di antaranya adalah Layanan Publik, Asuransi, Multifinance, Toko Online, Akomodasi & Transportasi dan Lembaga Donasi.

Setelah berjalan selama sembilan bulan di tahun 2014, saat ini sebanyak 16 merchant yang terdiri dari berbagai industri seperti Transportasi, E-Commerce, Game Voucher, Kuliner dan Asuransi, telah bergabung untuk memanfaatkan layanan TFP Artajasa ini. Keseluruhan merchant tersebut kini telah beropreasi. Ke depannya, Artajasa menargetkan pertumbuhan jumlah merchant tiga kali lipat setiap tahunnya.

Secara teknis, untuk dapat mengimplementasikan layanan Transfer for Payment ini, merchant cukup menyiapkan koneksi internet publik yang dapat menghubungkan sistem Artajasa dengan sistem billing merchant tersebut menggunakan API specification. Artajasa juga dapat menyediakan solusi hosting bila Institusi yang ingin bergabung tidak memiliki kemampuan dari sisi infrastruktur dan teknis. Untuk promosi layanan, antara Artajasa dan merchant dapat melakukan joint promo dengan berbagai macam bentuk promosi.

Tidak hanya menjamin transaksi terjadi secara real time dan online di sisi merchant maupun nasabah, keamanan dan kemudahan bertransaksi merupakan kelebihan yang dimiliki layanan TFP ini sehingga sangat dibutuhkan oleh merchant/biller yang menginginkan solusi sistem pembayaran yang handal dan terpercaya, oleh sebab alasan itu pulalah membuat merchant   yang telah bergabung tertarik untuk menggunakan layanan ini.

Dengan menggunakan jaringan transfer antar bank, pelanggan merchant yang memiliki kartu ATM bank berlogo ATM Bersama, Link dan ALTO dapat dengan mudah melakukan transfer dana untuk pembayaran barang / jasa dari merchant. Dengan kemudahan dan kecepatan layanan Transfer for Payment, tak heran bila layanan ini cukup diterima oleh masyarakat. Sosialisasi layanan ini tentu akan terus dilakukan agar jumlah transaksinya terus meningkat.

Salah satu merchant yang telah bergabung dengan layanan ini adalah Garuda Indonesia, yang secara resmi melakukan kerjasama untuk layanan pembayaran tiket online melalui transfer ATM Bersama dengan Artajasa pada tanggal 16 April 2014 lalu. Pelanggan Garuda Indonesia pun kini dapat memanfaatkan berbagai channel pembayaran perbankan untuk melakukan pembayaran tiket Garuda Indonesia secara online.

Mekanisme pembayaran tiket online ini memiliki dua tahap, tahap pertama adalah tahap pemesanan. Pelanggan Garuda dapat memesan tiket di channel yang dimiliki oleh Garuda Indonesia. Kemudian tahap kedua adalah tahap pembayaran melalui delivery channel bank anggota ATM Bersama seperti, mesin ATM, SMS Banking, Internet Banking atau Teller.

Garuda Indonesia menyediakan beberapa channel untuk transaksi secara online yaitu melalui website, Garuda Indonesia Online Sales/GOS (B2T) untuk travel agent dan Corporate Online sales/COS (B2B) untuk pelanggan corporate. Selanjutnya Garuda Indonesia juga akan mengoperasikan channel eRetail (B2C) untuk pelanggan ritel dan Mobile Application Internet. Kerjasama ini diharapkan dapat memberikan kemudahan bagi member GOS dan COS untuk melakukan transaksi.

Dengan demikian, kebutuhan masyarakat akan pembayaran yang terintegrasi pun kini semakin mudah sekaligus semakin luas. 

Penulis :  Ririn Aprilia
Sumber : http://nasional.news.viva.co.id, Selasa, 30 Desember 2014

Jumat, 19 Desember 2014

Para Ibu yang Sibuk Dengan Ponsel Hasilkan Anak Yang Kurang Perhatian.


Sebuah studi terbaru menemukan bahwa jika seorang ibu ingin memiliki kedekatan dengan anak-anaknya, maka ia harus menjauhkan perangkat ponsel pintar dan gadget lainnya saat makan bersama sang buah hati. 

Para peneliti menemukan, para ibu yang mudah terdistraksi dengan ponsel saat makan bersama memiliki kedekatan yang buruk dengan anak-anaknya.

Apa alasannya? 
Menurut dr Jenny Radesky, peneliti dan instruktur klinis di Boston University School of Medicine, Amerika Serikat, hubungan dan kedekatan yang seharusnya dibangun antara orang tua dan anak saat makan cenderung berkurang, gara-gara perhatian sang ibu lebih terarah pada ponsel dan gadget. 

Secara umum, tim peneliti yang dipimpin oleh Radesky menemukan bahwa penggunaan ponsel dan perangkat lainnya selama waktu makan berpengaruh terhadap 20 persen berkurangnya interaksi verbal antara orang tua dan anak. Selain itu, kondisi ini juga menyebabkan hilangnya interaksi nonverbal antara orang tua dan anak sebesar 30 persen.

Studi serupa yang baru saja dipublikasikan di jurnal Academic Pediatrics menemukan bahwa para ibu yang frekuensi penggunaan ponselnya sangat tinggi selama waktu makan juga tidak memberikan banyak nasihat dan motivasi kepada anak-anaknya. Mengenai hal ini, para peneliti merasa tidak terkejut. 

"Temuan dalam studi ini menunjukkan apa yang kami lihat adalah sebuah kebenaran. Setiap orang yang berinteraksi dan terhubung dengan perangkat elektronik secara berlebihan akan melupakan hubungan antar manusia pada waktu yang nyata dan sebenarnya," ujar dr Ron Marino, direktur pediatrik di Winthrop-University Hospital, Mineola, New York, Amerika Serikat.

Lebih lanjut, dr Marino menjelaskan, sudah sepatutnya anak-anak merasakan kehadiran orang tuanya, baik secara fisik maupun secara verbal. Ketika perhatian sang ibu terpecah atau malah terfokus pada media dan perangkat elektronik, maka kesempatan untuk mengembangkan kemampuan berbahasa dan sosial akan berkurang atau hilang. 


Penulis : Sakina Rakhma Diah Setiawan
Editor : Syafrina Syaaf
Sumber : Psychology Today, dikutip dari http://female.kompas.com/, Kamis, 18 Desember 2014, 16:52 WIB.

Kamis, 11 Desember 2014

Inilah yang Dihadapi Murid dengan Kurikulum 2013 !


Pengalaman baru dihadapi para murid ketika mulai menjajaki Kurikulum 2013 yang menggantikan Kurikulum 2006. Melalui kurikulum baru itu, murid dituntut untuk lebih aktif di kelas dibandingkan dengan guru. Khusus wilayah Jakarta Selatan, hampir seluruh sekolah telah menerapkan Kurikulum 2013. 

Ada beberapa perbedaan yang dialami oleh murid pada kurikulum baru dengan yang lama. Di antaranya, jam sekolah yang lebih lama dan juga pola belajar dengan metode diskusi. Yudi, Wakil Kepala Sekolah SMK Putra Satria di Pesanggrahan, Jakarta Selatan, mengakui adanya keluhan dari siswanya mengenai pola baru di Kurikulum 2013. 

"Misalnya buku yang lebih tebal, lalu kok banyak tugasnya di kurikulum ini. Karena setiap kali guru memang harus membuat tugas. (Tapi) keluhan biasa," kata Yudi, saat ditemui di acara workshop mengenai tawuran pelajar, di kantor Dinas Pendidikan DKI Jakarta, Rabu (10/12/2014). 

Peserta didik, lanjutnya, dituntut untuk lebih aktif. Dalam kurikulum lama, guru lebih banyak berbicara. Kini, murid yang lebih banyak bicara. Menurut Yudi, pola belajar siswanya kini bermodel diskusi dengan membentuk kelompok di kelas. Siswa nanti maju untuk berbicara atau presentasi di depan kelas. Hanya saja, untuk mata pelajaran matematika, pola diskusi menjadi rumit. 

"Murid nanya kalau matematika gimana diskusi Pak? Memang tidak bisa untuk diskusi," ujar Yudi. 

Selain itu, pada kurikulum ini, sebut Yudi, jam belajar siswa menjadi bertambah dua jam. Jam belajar di sekolah, yang sebelumnya berakhir pukul 12.30, menjadi pukul 14.30.

Sementara itu, Sabari, Kepala Sekolah SMK PGRI 14 di Jakarta Selatan mengatakan, kurikulum baru belum berjalan maksimal lantaran perilaku belajar siswa. Di sekolahnya, ia menyatakan minat baca murid-muridnya masih rendah. Padahal, murid dituntut untuk menguasai materi.

"Saya perhatikan kayaknya daya juang yang masih rendah, jadi minat bacanya rendah. Walaupun sudah ada buku. Kalau anak ini daya juang rendah, enggak mikirin. Cuek aja. Jadi cuma cari sertifikat, enggak cari ilmu," ujar Sabari. 

Meski demikian, baik Yudi dan Sabari menyatakan, Kurikulum 2013 amat baik untuk anak. Cara belajarnya membuat murid untuk lebih aktif. 

"Metode bagus, anak memang ditugaskan untuk mencari tahu," kata Yudi. "Ini memang sebenarnya bagus. Sekarang kan bukan guru ceramah. Tapi anak harus diaktifkan," ujar Sabari.

Penulis : Robertus Belarminus
Editor : Hindra Liauw 
Sumber : http://edukasi.kompas.com/, Rabu, 10 Desember 2014,  13:38 WIB.
Dikutip dari : http://pustakadigitalindonesia.blogspot.com/, 10 Desember 2014.

Inilah 10 Hal Fundamental Yang Harus di Revisi Dalam Kurikulum 2013 !


Hasil revisi Kurikulum 2013 kemungkinan akan segera diumumkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayan Anies Baswedan.

Jika revisi hanya mengacu persoalan teknis-implementatif, revisi tak akan berguna, sebab pokok persoalan sesungguhnya lebih pada substansi, bukan isi materi atau implementasi. Inilah yang harus direvisi. Revisi harus menyentuh hal-hal yang fundamental yang selama ini jadi persoalan serius dalam Kurikulum 2013.

Tiga langkah perlu dilakukan:  
  • Pertama, merevisi landasan yuridis pelaksanaan Kurikulum 2013, yaitu Peraturan Pemerintah (PP) No 32 Tahun 2014 tentang Standar Nasional Pendidikan yang merevisi PP No 19 Tahun 2005. Revisi PP No 32 Tahun 2014 akan berdampak pada revisi  peraturan menteri pendidikan dan kebudayaan (permendikbud) yang jadi dasar pelaksanaan Kurikulum Pendidikan.
  • Kedua, revisi atas PP No 32 Tahun 2014 akan berdampak pada revisi atas beberapa landasan konseptual filosofis pedagogis Kurikulum 2013 yang selama ini dianggap bermasalah, seperti konsep Kompetensi Inti, Kompetensi Dasar, Silabus, tematik integratif, desain buku ajar, dan sistem evaluasi dan penilaian.
  • Ketiga, revisi pendekatan praktis dalam metode pelatihan guru terkait substansi, isi, dan keterampilan yang dibutuhkan.

Fokus revisi

Ada 10 fokus revisi yang harus dilakukan tim revisi bentukan Anies. Tanpa menyentuh 10 hal fundamental ini, revisi tak akan bermakna karena hanya akan melanjutkan sebuah implementasi kurikulum yang dasar pijakannya sudah keliru sejak awal. 

  • Pertama, revisi konsep Kompetensi Inti. 
Kompetensi Inti dipahami sebagai ”tingkat kemampuan untuk mencapai Standar Kompetensi Lulusan yang harus dimiliki seorang peserta didik”.

Kompetensi Inti yang dipahami sekadar menjadi sikap spiritual, sosial, pengetahuan, dan keterampilan sangatlah meredusir kekayaan, hakikat, dan proses belajar itu sendiri. Apalagi jika kompetensi spiritual hanya dipahami sebagai ”menerima dan menjalankan ajaran agama yang dianutnya”, yang berlaku sama untuk seluruh jenjang dari tingkat dasar sampai menengah,  sedangkan sikap hanya mengacu pada perilaku tertentu yang sifatnya sangat terbatas. Kurikulum 2013 telah memasukkan sebuah konsep dasar yang meredusir kekayaan kompleksitas proses belajar yang sesungguhnya.

Inilah yang perlu direvisi. Revisi terutama justru mengembalikan hakikat proses belajar yang melampaui sekadar pengembangan sikap spiritual, sosial, pengetahuan, dan keterampilan. Kompetensi Inti harus didesain secara utuh dan komprehensif, tak parsial dengan membagi-baginya menjadi komponen-komponen yang akan diselaraskan dalam proses belajar.

  • Kedua, pengarusutamaan pada spiritualisme. 
Kurikulum 2013, dengan memagari proses pembelajaran pada kompetensi inti, terutama pada sikap spiritual, telah menghasilkan spiritualisasi proses pembelajaran. Proses belajar diarahkan semuanya pada praksis “penghayatan dan pengamalan agama yang dianut siswa”. 

Ini sebuah pendekatan kurikulum yang sangat absurd, memiskinkan kekayaan pengalaman belajar, dan mendiskriminasi siswa yang agamanya tidak resmi diakui oleh pemerintah. Akibatnya, muncul definisi Kompetensi Dasar (KD) yang tak masuk akal, aneh-aneh, dan lucu.

Pada pelajaran Matematika kelas X, misalnya, definisi kompetensi inti dan dasar ternyata sama, yaitu menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya. Ini pelajaran matematika atau pelajaran agama? Pendekatan spiritualis seperti inilah yang harus direvisi menjadi pendekatan pembelajaran yang lebih rasional, mengedepankan akal budi dan nilai-nilai universal yang bisa dipelajari semua orang.

  • Ketiga, pendidikan agama dan budi pekerti. 
Kurikulum 2013 telah memperkenalkan sebuah konsep yang sangat keliru tentang kaitan antara pendidikan agama dan budi pekerti. Ketatnya jumlah jam belajar telah memaksa pemerintah menggabungkan pendidikan agama dengan budi pekerti. Pemerintah salah memahami seolah-olah agama-agama mengajarkan pendidikan budi pekerti yang berbeda.

Padahal, agama memiliki domain ajaran yang berbeda dengan pendidikan budi pekerti. Pelajaran agama bersifat eksklusif, dogmatis, ritual, sedangkan pendidikan budi pekerti bersifat inklusif, terbuka, dan mengacu pada praksis kehidupan bersama secara bijak, adil, saling menghormati.

Apabila pendidikan agama masuk ranah kepercayaan yang sifatnya sangat subyektif, pendidikan budi pekerti berada pada ranah moral yang memiliki kodifikasi nilai universal, berupa nilai-nilai moral kemanusiaan. Mengintegrasikan pendidikan budi pekerti pada pendidikan agama jelas akan kian menyegregasi anak-anak Indonesia berdasarkan kelompok agama dan ini akan mereduksi pengalaman mereka akan keragaman dan kebersamaan.

  • Keempat, revisi silabus. 
Silabus bagian tak terpisahkan dalam penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran. Silabus harus direvisi karena telah terjadi logika terbalik. Kurikulum 2013 ternyata membuat silabus berdasarkan buku yang sudah dicetak, menyesuaikan dan menambahkan apa yang kurang. 

Permendibud No 57 Tahun 2014 menjelaskan adanya tiga pola format silabus: 
  1. KD diberi keterangan:  KD buku, KD silabus, KD buku dan silabus, KD buku tetapi tidak sesuai permendikbud. 
  2. KD diberi keterangan: ada di buku, tidak ada di buku. 
  3. KD Dasar tanpa keterangan. Keterangan ini mengindikasikan bahwa silabus dibuat berdasarkan buku, dan bukan buku berdasarkan silabus. 
Logika terbalik ini membuat kualitas buku kurikulum dipertanyakan.

  • Kelima, pendekatan tematik integratif berubah menjadi materi pelajaran. 
Kurikulum 2013 untuk sekolah dasar mengubah seluruh proses pembelajaran dalam format tematik integratifTematik integratif sesungguhnya sebuah metode belajarbukan mata pelajaran. 

Fokus pembelajaran semestinya tetap pada pengembangan dasar-dasar ilmu pengetahuan. Fokus ini menjadi hilang dan siswa lebih gemar mempelajari tema. Akibatnya, siswa hanya akan menghafalkan fragmen-fragmen tematis pembelajaran, tanpa mampu mengintegrasikan kaitan antara ilmu yang satu dan yang lain. Situasi ini diperparah dengan tidak adanya peta kompetensi dalam silabus.

  • Keenam, peta kompetensi dasar. 
Silabus dalam Kurikulum 2013 tidak menyertakan peta kompetensi dasar. Yang ada dalam buku kurikulum hanyalah jaringan kompetensi dasar. Akibatnya, beberapa kompetensi diajarkan berulang-ulang dalam tema-tema yang lain, sedangkan kompetensi yang lain sama sekali tidak dibahas. Ini dapat dimaklumi karena pada saat pembuat buku ajar mendesain buku, mereka tidak dilengkapi dengan silabus sehingga kompetensi yang dibuat hanya perkiraan penulis buku saja.

Tanpa adanya peta kompetensi, kita tak dapat mengetahui sejauh mana proses belajar siswa, dan apakah seluruh kompetensi keilmuan yang dibutuhkan telah terliput dalam keseluruhan tema pembelajaran. Akibat fatal dari absennya peta kompetensi ini adalah rangka-bangun keilmuan siswa sekolah dasar sangat rapuh.

  • Ketujuh, indikator pembelajaran. 
Tim revisi kurikulum harus merevisi silabus dengan menyertakan indikator pembelajaran. Tanpa adanya indikator pembelajaran yang lebih detail, proses pembelajaran tidak dapat dinilai dan dievaluasi

Kompetensi dasar yang ada saat ini masih terlalu umum, bahkan kompetensi dasar untuk Matematika kelas X untuk sikap spiritual sama dengan kompetensi dasar. Tanpa adanya indikator pembelajaran, seluruh proses pembelajaran dalam Kurikulum 2013 tidak dapat dievaluasi.

  • Kedelapan, model evaluasi dan penilaian. 
Tim revisi kurikulum harus merevisi model evaluasi pembelajaran baik secara mikro maupun makro. Penilaian yang bersifat mikro adalah evaluasi proses pembelajaran dalam kelas, dan yang makro adalah keseluruhan sistem evaluasi pendidikan nasional. Penilaian kompetensi sikap sangat bermasalah dan tidak realistis karena guru hanya akan disibukkan mengamati siswa agar dapat mengisi kolom penilaian.

Adapun secara makro, spirit pembelajaran dalam Kurikulum 2013 mewajibkan pemerintah menghapus sistem ujian nasional karena bertentangan dengan roh dalam Kurikulum 2013. Tetap mempertahankan ujian nasional merupakan sikap inkonsisten dan keengganan dalam merevolusi mental.

  • Kesembilan, model pelatihan guru harus diubah. 
Guru perlu dilatih untuk memiliki kekayaan dalam berbagai macam strategi dan pendekatan belajar, serta pendekatan dalam proses penilaian, melalui rubrik, portofolio, proyek, dan lain-lain. Fokus pada micro teaching, bukan pada paparan presentasi power point seperti terjadi selama ini.

  • Kesepuluh, desain buku pelajaran. 
Buku-buku pelajaran yang sudah dicetak harus dinyatakan sebagai salah satu referensi sumber pembelajaran saja karena kualitas buku Kurikulum 2013 dipertanyakan dari segi isi dan substansinya

Pemerintah perlu mendesain buku pelajaran dengan lebih baik dan menyertakan akademisi lintas ilmu agar dapat mendesain buku pelajaran yang baik dan bermanfaat, bukan menyerahkan kepada para penulis buku amatiran yang sekadar punya pengalaman mengajar.


Sepuluh hal fundamental di atas haruslah jadi fokus perhatian bagi tim revisi Kurikulum 2013. Kurikulum 2013 bermasalah bukan karena persoalan teknis, seperti pembagian dan cetak buku, melainkan secara substansial dan fundamental bermasalah. 

Jika sepuluh hal di atas tidak masuk dalam kajian dan hasil yang akan dilaporkan oleh tim revisi Kurikulum 2013, saya tidak melihat kesungguhan pemerintah dalam merevisi Kurikulum 2013. Ini berarti membiarkan masa depan anak Indonesia dalam sebuah proses pendidikan yang salah kaprah berkepanjangan.

Penulis : Doni Koesoema A
Alumnus Curriculum and Instruction Faculty, Boston College Lynch School of Education, Boston, AS
Sumber : http://edukasi.kompas.com/, Senin, 8 Desember 2014, 20:47 WIB.
Dikutip dari : http://pustakadigitalindonesia.blogspot.com/, 9 Desember 2014.

Kurikulum 2013 Ciptakan Pelajar yang "Sok Tahu"


Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta Lasro Marbun menganggap Kurikulum 2013 telah menciptakan banyak pelajar yang "sok tahu". Hal itu mengacu pada peraturan yang mengharuskan pelajar untuk menguasai banyak materi pelajaran, tetapi tak menguasainya secara utuh.

Menurut Lasro, keharusan untuk mempelajari materi pelajaran yang banyak membuat pelajar menjadi tidak fokus. Akibatnya, kata dia, tak ada satu pun bidang mata pelajaran yang benar-benar dikuasai secara mendalam.


"(Kurikulum 2013) terlalu banyak mata pelajaran yang bikin pelajar tidak fokus. Kurikulum 2013 itu bikin pelajar banyak tahu, tapi sedikit-sedikit. Indonesia itu butuh yang sedikit tahu, tapi tuntas. Jangan banyak tahu tapi separuh-separuh, jadinya sok tahu," kata Lasro, di Balaikota Jakarta, Senin (8/12/2014).

Lasro kemudian mengambil contoh mengenai pelajar yang mengambil jurusan IPA. Menurut Lasro, seorang pelajar yang mengambil jurusan IPA tentu sudah sangat disibukkan dengan mata pelajaran yang ada di jurusannya. Ini menyebabkan pelajar itu tidak akan sempat untuk mempelajari mata pelajaran dari jurusan lain, dalam hal ini IPS.

Lasro menilai, boleh-boleh saja apabila pelajar yang mengambil jurusan IPA mempelajari mata pelajaran IPS. Namun, menurut dia, porsinya harus terbatas, dan tidak menyeluruh terhadap seluruh isi mata pelajaran.


"Orang IPA kok belajar IPS? Boleh-boleh saja kalau belajar nilai-nilainya. Supaya dia nanti jadi ilmuwan yang tidak membuat biovirus. Karena itu, dia harus punya integritas. Tapi bukan dengan belajar bidang yang lain," ujarnya.

Seperti diberitakan, Menteri Kebudayaan dan Pendidikan Dasar dan Menengah Anies Baswedan memutuskan untuk menghentikan pelaksanaan Kurikulum 2013 di seluruh Indonesia. Kurikulum 2013 selanjutnya diperbaiki dan dikembangkan melalui sekolah-sekolah yang sejak Juli 2013 telah menerapkannya.

"Proses penyempurnaan Kurikulum 2013 tidak berhenti, akan diperbaiki dan dikembangkan, serta dilaksanakan di sekolah-sekolah percontohan yang selama ini telah menggunakan Kurikulum 2013 selama tiga semester terakhir," kata Anies di kantornya di Jakarta, Jumat (5/12/2014).

Penulis : Alsadad Rudi
Editor : Bayu Galih
Sumber : http://edukasi.kompas.com/, Senin, 8 Desember 2014, 15:06 WIB.
Dikutip dari : http://pustakadigitalindonesia.blogspot.com/, 9 Desember 2014.

Ini Keluhan Guru terhadap Kurikulum 2013...


Kurikulum 2013 dinilai memberi kesan tak baik bagi para guru di Indonesia. Tak sedikit guru yang mendukung putusan penghentian kurikulum yang disingkat K13 itu oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan, Jumat (5/12/2014). 

Ketua Serikat Guru Indonesia Kota Purbalingga, Gunawan, mengatakan, para guru masih kebingungan meski telah mendapatkan pelatihan K13. Sebab, kata dia, proses pelatihan itu hanya berbentuk forum seminar. 

"Si instruktur hanya bermodalkan satu buah flashdisk yang berisi powerpoint, kemudian kami para guru disuruh buat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) sendiri dan terus dipresentasikan secara sampel," ujar Gunawan dalam diskusi "Hentikan Kurikulum 2013 dan UN sebagai Penentu Kelulusan" di kantor LBH Jakarta, Minggu (7/12/2014). 

Tak hanya itu, Gunawan juga mengungkapkan, materi tingkat sekolah dasar dinilai terlalu tinggi. Menurut Gunawan, materi itu berat untuk tingkat SD. Bila dibandingkan dengan sistem kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP), materi kelas VI justru dilaksanakan di kelas IV dan V. 

Terkait pelatihan guru, Ketua SGI Kabupaten Bima, Fahmi Hatib, mengatakan, seharusnya dilakukan selama 5 (lima)  hari. Namun, pada kenyataannya, hal tersebut hanya dilakukan selama 5 (tiga) hari. Pelatihan dianggap tidak cukup untuk mengubah pola pikir guru dalam proses pembelajaran. 

"Bahkan saat pelatihan, si instruktur memberikan arah pembocoran kunci jawaban untuk post test agar tergambar bahwa pelatihannya berhasil. Ini kan pembohongan publik," ungkap Fahmi. 

Ada juga pelatih guru, Itje Chodidjah, yang menyatakan bahwa pelatihan guru seharusnya dilakukan secara sistematis, terstruktur, dan berkelanjutan. Hal itu pun harus disesuaikan dengan kebutuhan guru itu sendiri. 

Masalah buku juga diungkapkan menjadi persoalan teknis lain atas keberhasilan pembelajaran suatu kurikulum pengajaran di Indonesia. Pasalnya, masih banyak sekolah yang menerima buku pelajaran siswa tak sesuai dengan jadwalnya. 

"Di Jambi, buku SMK baru diterima pada 1 Desember 2014, sedangkan ujian akhir semester (UAS) selesai 4 Desember 2014, padahal buku K13 disusun per semester," ungkap Ketua SGI kota Jambi, Aswin.

Penulis : Adysta Pravitra Restu
Editor : Hindra Liauw
Sumber : http://edukasi.kompas.com/, Minggu, 7 Desember 2014, 17:08 WIB.
Dikutip dari : http://pustakadigitalindonesia.blogspot.com/, 9 Desember 2014.