Pemerintah mendesak perlunya undang-undang perdagangan yang mengatur juga soal perdagangan online. Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan, Srie Agustina, mengatakan awalnya berencana membuat peraturan ini berdasarkan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). "Tapi, harapan kami, itu menjadi undang-undang perdagangan. Kalau Undang-Undang Perdagangan sudah diterbitkan, ya, kami buat peraturannya," kata Srie kepada VIVAnews di kantornya, 11 Oktober 2013.
Sejauh ini, aturan yang terkait dengan online trading berada di UU Informasi dan Transaksi Elektronik dan PP Nomor 82 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem Transaksi Elektronik (PSTE) sebagai turunan UU itu. "Dalam UU ITE Padal 28 ayat 1 sudah mencakup meski tidak spesifik, tapi diatur soal etika transaksi," ujar Gatot Dewa S. Broto, Kepala Humas dan Pusat Informasi Kementerian Komunikasi dan Infromatika, kepada VIVAnews, 26 Juni lalu.
Mengingat masih kurang spesifik, Gatot menambahkan, pihaknya akan melanjutkan pengaturan pasal perdagangan online secara lebih teknis dalam peraturan menteri.
Selain aturan mengenai online trading, Gatot menambahkan, Kominfo juga akan segera mengeluarkan beberapa aturan mengenai pokok hal yang dibahas dalam UU ITE dan PP Nomor 82/1012. "Termasuk tentang masalah data center dan pengelolaan domain. Nanti diatur sendiri-sendiri. Semua punya prioritas yang sama," katanya.
Namun, menurut Kementerian Perdagangan, dua aturan itu belum cukup. Online trading juga terkait dengan UU lainnya, misalnya UU Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, sehingga perlu ada UU baru yang memayungi semua transaksi perdagangan secara online.
Apa yang diatur?
Srie mengatakan pihaknya telah membahas RUU Perdagangan ini berkali-kali dengan para pemangku kepentingan (stake holder) terkait. Ada beberapa hal yang akan diatur, yaitu tempat perdagangan elektronik, pelaku perdagangan, ketentuan perdagangan, dan adanya surat perdagangan terdaftar.
"Yang kami atur itu yang pertama adalah wadah. Jadi, siapa penyelenggara e-commerce. Misalnya, Kaskus atau yang pakai dotcom-dotcom itulah," kata dia.
Lalu, yang kedua adalah merchant. Maksudnya adalah pihak yang menjual produk yang akan diperdagangkan melalui e-commerce. "Itu adalah siapa yang akan menjual produk di dalam penyelenggara perdagangan elektronik itu. Misalnya, saya mau jual handphone, harus didaftar. Itu merchant namanya," kata Srie.
Dia menjelaskan pihak kementerian akan mendaftar penyelenggara perdagangan elektronik dan penjualnya. Sebab, ini bertujuan untuk mengetahui siapa saja yang terlibat dalam e-commerce, dan ada pula poin yang harus dipenuhi dalam perdagangan elektronik ini: produk perdagangan tersebut harus memenuhi ketentuan perdagangan dalam negeri. Contohnya adalah penggunaan kartu manual.
"Misalnya, (barang) elektronik. Barang elektronik itu kan harus memiliki kartu manual berbahasa Indonesia. Walaupun diperdagangkan secara elektronik, dia harus memenuhi ketentuan itu. Kira-kira seperti itu. Rencananya ke depan seperti itu," kata dia.
Selanjutnya, penyelenggara perdagangan elektronik itu harus memiliki surat pendaftaran. "Penyelenggara perdagangan elektronik itu harus memiliki surat pendaftaran perdagangan melalui elektronik, rencananya. Itu rencana ke depan. Namanya juga rencana dan belum ditandatangani," kata Srie.
Srie meminta agar bersabar. Kementerian tengah membahasnya dengan DPR. "Ya, nanti tunggu undang-undang dulu, UU Perdagangan. Rencananya mau dibahas di DPR. Kami sedang membahas secara internal dan dengan DPR. Segera kami beri tahu. Kira-kira itu isi drafnya," kata dia.
Ingin tarik pajak
Menteri Perdagangan Gita Wirjawan mengatakan RUU tersebut tidak hanya mengatur tata niaga, namun juga persiapan fiskal seperti pengenaan pajak pada transaksi itu. Pemerintah melihat Indonesia menyimpan potensi besar dalam perdagangan di dunia maya.
"Besar sekali potensi e-commerce, sehingga pemerintah perlu mengeluarkan uudang-undang yang akan kami garap tahun ini, untuk memayungi semuanya," ujar Gita di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu 17 April 2013.
Ia menjelaskan, pada kuartal III tahun ini, Kementerian Perdagangan akan mulai membahasnya dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Saat ini, Kementerian Perdagangan sedang menyiapkan berbagai data yang dibutuhkan. Ia berharap sebelum akhir tahun, peraturan perdagangan online ini sudah dapat keluar.
Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan, belum memiliki regulasi yang pasti terkait pajak transaksi dengan sistem online, khususnya melalui media sosial yang terus meningkat saat ini. Direktur Jenderal Pajak, Fuad Rahmany, di kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Senin 15 April 2013, menyadari transaksi online diperkirakan terus meningkat. Untuk itu, Ditjen Pajak terus mengkaji kemungkinan transaksi tersebut dikenai pajak.
Fuad mengatakan kekurangan sarana teknologi informasi seperti software maupun hardware memadai yang dimiliki pemerintah, menjadi salah satu penghambat pemungutan pajak transaksi elektronik. Untuk itu, Fuad melanjutkan, Ditjen Pajak akan bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan TI dan perbankan untuk mendeteksi transaksi tersebut.
Kerja sama tersebut, menurut dia, dilakukan untuk memastikan transaksi online terdeteksi dan dapat dikenakan pajak. "Memang, Facebook dan yang semacamnya belum terdeteksi sama kami," katanya.
Malaysia sudah atur
Jika Indonesia masih berwacana, Malaysia sudah menerapkan aturan atas transaksi perdagangan online sejak 1 Juli 2013 melalui Peraturan Perlindungan Konsumen 2012. Jika Indonesia niatnya memajaki transaksi, Malaysia justru ingin melindungi konsumen yang menggunakan media online.
Menteri Perdagangan Dalam Negeri, Kerjasama dan Konsumerisme Malaysia, Datuk Seri Ismail Sabri Yaakob, menyatakan peraturan itu penting bagi 1,1 juta rakyat di negeri itu yang melakukan transaksi bisnis online yang mencapai 1,8 miliar ringgit Malaysia di tahun 2010 dan diperkirakan meningkat jadi RM5 miliar di tahun 2012.
"Dengan transaksi yang sebesar itu, tindakan menjaga kepentingan konsumen harus dilakukan," kata Ismail Sabri.
April 2013, Kantor Berita Bernama melaporkan, ada 600 perusahaan online dan 15.405 bisnis online tercatat di Komisi Perusahaan Malaysia. Dengan angka itu, penipuan lewat online pun meningkat.
Polisi Malaysia melaporkan, penipuan online naik dari tahun ke tahun. Tahun 2009, ada 511 kasus dicatat polisi. Tahun 2011, ada 1.879 kasus.
Dengan aturan ini, pelaku penipuan bisa kena denda atau penjara. Aturan ini mengikat siapapun yang menawarkan barang dan jasa melalui Internet termasuk jejaring sosial seperti Facebook.
Bagaimana dengan Indonesia? UU Perdagangan Online akan jadi insentif atau disinsentif baru buat perkembangan e-commerce di Tanah Air?
Penulis : Arfi Bambani Amri, Amal Nur Ngazis, Arie Dwi Budiawati
Sumber : http://fokus.news.viva.co.id/, Selasa, 15 Oktober 2013, 22:16 WIB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar