Beberapa hari yang lalu ada posting yang membuat heboh media sosial. Kasusnya adalah sebagai berikut: Habibi, murid kelas 2 SD di Jawa Tengah hanya mendapat nilai 20 dari 10 soal matematika pekerjaan rumah (PR) yang dikerjakan karena jawabannya tidak sesuai dengan standar sang guru. Peristiwa ini bisa terjadi karena guru itu dinilai kurang tanggap dengan perkembangan Matematika siswanya..
Kakak dari siswa tersebut turut membantu. Celakanya, jawaban sang kakak bukannya menghasilkan nilai 100 tetapi hanya dihargai 20 alias: hampir semua jawaban ’salah’. Tanda kutip di sini artinya menurut versi guru. Akibatnya sang kakak melakukan protes dengan menulis paragraf pembelaan dengan argumen bahwa 4 x 6 sama dengan 6 x 4.
Reaksi pertama saya sebagai seorang guru dan ilmuwan tentu adalah perasaan terusik. Bagaimanapun seorang guru dikirimi surat ‘cinta’ dari orang yang tidak seharusnya mengerjakan PR-nya tampak sebagai suatu ‘pelecehan’. Tetapi otak rasional yang terasah akan segera menyampingkan semua perasaan dan mengakifkan koneksi ‘logika’.
Ok mari kita bahas soal nomor 1. saja karena soal berikutnya adalah identik.
4 + 4 + 4+ 4 + 4+ 4 = ..... x ..... = .......
soal ini sangat sederhana karena memang merupakan soal penjumlahan dan perkalian bilangan bulat. Jujur saja kalau Anda diberikan soal seperti ini pasti jawabannya langsung keluar. Saya yakin jawabannya hampir berimbang antara 4 x 6 dan 6 x 4 bahkan yang kreatif mungkin akan menuliskan 4 x 2 x 3 atau bahkan -4 x -6 atau versi lain yang juga menghasilkan hasil sama dengan 24.
Tapi dari cara guru tersebut menilai jawaban si anak, tampaknya bahwa satu-satunya jawaban yang valid atau benar hanyalah 6 x 4, atau ada 6 kali angka 4. Jawaban ini mungkin adalah jawaban yang sesuai dengan contoh sang guru juga mungkin berdasarkan argumen bahwa proses penghitungan harus sesuai karena misalnya minum obat 3 kali sehari tidak sama dengan satu kali 3. Lantas siapa yang benar?
Sebenarnya jawabannya tidak sulit kalau kita memahami fondasi matematika. Matematika adalah ilmu yang mempelajari bilangan, struktur, dan transformasi/operasi terkait. Dalam matematika setiap bilangan dikelompokkan dalam bentuk himpunan berdasarkan sifat-sifat yang melekat padanya. Misalkan dikenal klasifikasi bilangan prima yang merupakan anggota himpunan bilangan bulat. Selanjutnya bilangan bulat merupakan himpunan bilangan rasional dst. Kemudian operasi matematika yang melekat pada himpunan tertentu mengikuti sejumlah ketetapan atau aksioma. Misalkan, perkalian dua bilangan bulat atau secara lebih umum bilangan rasional bersifat komutatif artinya
jika A dan B adalah himpunan bilangan rasional maka A B = B A atau AB - BA = 0
juga berlaku sejumlahan aturan main lainnya seperti sifat tertutup (closed) yakni
A B juga harus merupakan himpunan bilangan rasional dan bukan himpunan bilangan irrasional misalnya. Juga dikenal sifat asosiatif, distributif dll.. Setiap formulasi ilmiah apakah itu dalam fisika, biologi, kimia, dll mengikuti aturan ini.
Dalam matematika yang dimaksud dengan pandangan yang berbeda adalah satu hal yang bisa dinyatakan oleh lebih dari satu ekspresi. Misalkan dalam fisika dikenal sebuah transformasi fourier yang menggambarkan suatu fungsi dalam kerangka berbeda (misalnya menghubungkan koordinat posisi dan koordinat momentum) namun informasi yang dikandung sama. Begitu juga 4 + 4 + 4 + 4 + 4 + 4 bisa diartikan 4-nya ada 6 kali dan ada 6 kali angka 4. Jika seorang anak selalu menggunakan 6 x 4 maka ia akan menjadi bingung jika ada orang yang menukarkan posisi padahal keduanya valid. Jadi tidak ada sudut pandang yang istimewa semua sudut pandang yang tidak bertentangan dengan validitas aturan operasi yang melekat pada himpunan bilangan harus merupakan jawaban yang sah. Anda mungkin berpikir bahwa saya terlalu jauh menafsirkan suatu aturan untuk anak SD namun hal ini akan dibawa terus dan yang dibutuhkan adalah konsistensi. Bahwa x disini adalah operasi matematik yang melambangkan perkalian jadi ada 6 kali angka 4 dan angka 4 nya ada 6 kali itu sama. Dua representasi yang setara. Jadi secara asas kebenaran yakni asas logika matematika yang valid si anak itulah yang benar! Karena ia menggunakan sifat komutatif dari operasi perkalian bilangan rasional.
Namun perlu digarisbawahi bahwa operasi perkalian dalam matematika tidak selalu komutatif. Misalkan jika A dan B adalah matriks maka secara umum A B tidak sama dengan B A , hanya jika kedua matriks A dan B bisa didiagonalisasi artinya hanya komponen diagonalnya saja yang bisa bernilai sedangkan komponen lainnya nol maka operasi komutatif berlaku. Contoh lainnya adalah jika A dan B adalah operator atau suatu yang baru memiliki nilai ketika dioperasikan pada sesuatu katakanlah fungsi f, secara umum tidak harus komutatif. Misalkan operator diferensial dalam fisika biasanya tidak selalu komutatif.
Ada argumen kontra bahwa maksud guru di sini mengajarkan proses perkalian, sehingga argumen di atas tidak bisa digunakan. Misalkan minum obat tiga kali sehari kan tidak sama dengan satu kali tiga, atau cicilan motor 20 kali 12 tidak sama dengan 12 kali 20. Di sini saya bisa membantah argumen tersebut sebagai berikut:
Apakah ‘kali’ dalam kalimat sebelumnya adalah operator matematika dan A dan B adalah bilangan bulat atau rasional?
Jika Anda katakan itu tidak sama maka kali di sini BUKAN operator matematika tetapi suatu makhluk lain misalkan bermakna linguistik: sebanyak n dalam waktu….
Jika Anda anggap sama maka Anda harus konsisten menerapkan definisi:
A= penggunaan dan B = obat, sedangkan A=3 dan B=1
Maka A B = 3 kali penggunaan x 1 dosis obat = 1 dosis obat x 3 kali penggunaan
Tidak bisa variabel obatnya (B) pindah ke penggunaan (A) karena definsisinya sudah ditetapkan di awal. Ini yang saya maksud dengan PRESISI dalam berhitung tidak asal asalan.
Jadi tidak bisa aturan linguistik seperti frase MD atau DM yang bermakna lain (menerangkan diterangkan) disamakan dengan operasi matematika. Kalau disamakan maka harus ikut DM = MD kalau tidak maka formulasi alam tidak bisa digunakan alias break down. Contoh luas segitiga adalah 1/2 A t, sama saja jika dikerjakan 1/2 t A atau A 1/2 t karena ketiganya adalah bilangan rasional bisa dikomutasikan. Jadi pola pikir satu solusi bisa bermasalah!
Seharusnya murid harus diajarkan fondasi matematiknya dulu kemudian dijelaskan bahwa kali dalam bahasa sehari hari tidak selalu sama dengan simbol kali x dalam matematika. Anak harus lebih banyak mengenal struktur dan bilangan misalnya dalam bentuk gambar atau objek ketimbang masuk ke operasi matematis yang formal. Kreativitas harus didahulukan.
Ada kecenderungan bahwa pendidikan saat ini terlalu membebani anak dengan hal hal yang belum sesuai dengan perkembangan otak. Berikan ilustrasi dalam bentuk visual misalkan mengenai penggunaan obat sebanyak tiga kali sehari TANPA simbol x dalam matematika karena simbol itu jika dioperasikan pada 2 biloangan rasional bersifat komutatif. Kali dalam ranah linguistik seperti minum obat 3 kali bukan operasi matematika kalau ya maka bisa saja minum obatnya 3 x -1 x -1 x 2 x 1/2!!!
Jawaban soal di atas sudah benar, bahkan karena kedua ruas adalah angka bukan variabel maka tanda sama dengan mengijinkan sejumlah takhingga solusi yang benar, asalkan jumlah kedua ruas sama. Menyuruh siswa untuk menjawab sesuai guru bisa berbahaya karena di masa depan ia akan berpikir argumen by authority atau kuasa ketimbang argument by PROOF.
Jadi bagaimana mengajarkan pada anak? Menurut saya kita harus JUJUR bahwa dalam matematika 4 x 6 sama dengan 6 x 4 tapi kalau dalam sehari hari harus hati hati karena kata kali disini berbeda dengan yang di matematik. Memang kadang kebenaran itu sulit tapi suatu saat ketika si anak sudah mulai lebih tahu dia akan memahami bahwa apa yang dikatakan sang guru itu adalah ’sahih’
Quod erat dozentum, eh salah demonstrandum (PROOF)!!!!
Hikmah apa yang bisa dipetik dari peristiwa memalukan ini ?
Peristiwa ini bisa terjadi karena guru itu dinilai kurang tanggap dengan perkembangan Matematika siswanya.
"Berhati-hatilah dan carilah metode yang paling efektif ketika memberi evaluasi kepada anak seusia Habibi," kata Adi Rio Arianto, pemerhati ilmu matematika melalui e-mailnya kepada merdeka.com, Senin (22/9).
"Terlepas dari anak tersebut yang sedikit perlu belajar lagi atau pendidiknya yang kurang tanggap dengan perkembangan matematika siswanya, saya pikir ini adalah masalah besar yang akan menentukan kualitas generasi manusia Indonesia ke depan. Manusia yang sudah mendapatkan pendidikan hari ini mestilah menjadi penentu bagi sejarah bangsa yang kesemuanya akan bergantung pada kualitas anak didik hari ini," imbuh Adi.
Dia menilai, apa yang sedang terjadi pada anak seusia Habibi adalah pelajaran besar bagi para penggiat ilmu matematika di seluruh Indonesia.
"Mungkin ini terkesan sepele, namun ini adalah persoalan soft-skill anak bangsa Indonesia. Yah, ini menyangkut masa depan anak-anak Indonesia terkait perkembangan ilmu matematika yang mereka tekuni termasuk saya yang sudah berkecimpung dengan matematika sejak 24 tahun silam," ujarnya.
Beberapa pertimbangan khusus ini jika tidak dilihat secara mendalam, kata Adi, jelas akan merugikan perkembangan dan kemampuan intelektual seseorang, tidak hanya bagi Habibi, tetapi juga bagi anak-anak lain yang baru akan, sedang, dan yang sudah menempuh pendidikan dasar seusia nya.
"Bagaimanapun juga anak-anak punya hak dasar untuk memperoleh pendidikan yang layak yang dibarengi dengan metode yang layak pula. Saya pikir tidak hanya pihak institusi Komnas Anak-Anak, Asosiasi Pemerhati Ilmu Matematika Se-Indonesia, tetapi juga para pendidik termasuk orang tua siswa perlu mengevaluasi peristiwa di atas," pungkasnya.
Tanggapan Kemendiknas.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan kaget mendengar kasus ada siswa yang pekerjaan rumah (PR) Matematika-nya hanya mendapat nilai 20 meski jawabannya benar. Siswa tersebut mendapat ponten merah karena angka yang dia letakkan tak sesuai dengan jawaban yang diinginkan guru meski pada dasarnya jawabannya sama.
Humas Kemendikbud, Ibnu Hamad, angkat bicara mengenai kasus ini. Dia menilai si guru agaknya kurang paham soal dua aspek penilaian dalam Kurikulum 2013 yang menyebut siswa harus diajarkan kemampuan dan penalaran. Untuk kasus di atas, sebenarnya siswa menggunakan nalarnya.
"Seharusnya tidak terjadi itu, tidak musim lagi guru yang tidak sesuai dengan pikirannya lalu dianggap salah. Itukan nalar dia, harusnya penalarannya dihargai gurunya, selama masih masuk nalar boleh dong, kecuali hasilnya menjadi kurang," kritik Ibnu, saat berbincang dengan merdeka.com, Senin (22/9).
Ditambahkan Ibnu, harusnya si guru yang telah mendapat pelatihan Kurikulum 2013 bisa mengimplementasikan dengan baik pada siswa. Dia segera mengingatkan pihak Dinas Pendidikan terkait untuk menindaklanjuti kasus ini.
Penyusun : Yohanes Gitoyo
Sumber :
- http://humaniora.kompasiana.com/, 22 September 2014, 14:36 WIB.
- http://www.merdeka.com/, Senin, 22 September 2014 12:36 WIB.