Selasa, 01 Januari 2013

Perumusan dan Penerapan Kurikulum Entrepreneur di Sekolah.

  https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiNwjXQWHGC_r0QFdWqMW9I_PC4MZGeQ56ZRuh7sVXPC6kEbHbUyFZQSSCOqIc49N1LyOlapzjSd1BCYWYFfFDlfDt5kp17uodtTX7fQAo17t87pyvMQSPhwEphWwwOtiR9yjHxIKHtABn5/s1600/launch+moner2.jpg

Bagaimana model kurikulum?
 
Penekanan kurikulum entrepreneur adalah sebuah proses mengembangkan karakter dan mindset yang dilakukan melalui proses eksplorasi dan kreatif. Dua proses diyakini akan lebih bermakna kalau disertai proses mengembangan kecakapan-kecakapan yang dapat mendukung pemahaman konsep. Unsur yang akan berkembang dari siswa adalah. karakter atau mindset, ketrampilan dan pengetahuan atau konsep-konsep tentang hal yang dipelajari. Semua unsur akan diperlakukan sama pentingnya dan saling memberikan pengaruh.
 
Kurikulum tidak sekedar membuat anak tahu dan mengerti apa yang dipelajari, tapi lebih menekankan agar siswa berlatih untuk menemukan cara-cara baru dalam berkreasi dan berinovasi. Siswa didorong untuk menciptakan nilai tambah atau baru berdasarkan pemahamannya terhadap model, pola dan sistem yang ada. Kurikulum ini akan sangat menghargai proses kreatif dan nilai-nilai kemandirian untuk mencoba atau mengambil resiko.
 
Kurikulum menggunakan model tematis atau interdisipliner yang akan dikemas menjadi payung tema. Selanjutnya payung tema disebut dengan area of eksploration atau bidang yang perlu dieksplorasi. Kalau dalam pendekatan bidang studi siswa belajar matematika, IPS dan bahasa. Tapi dalam kurikulum entrepreneurship siswa akan belajar tentang topik konkrit seperti: peristiwa penting dalam keluarga, potensi dan keunikan daerah, dan pameran. Ada sekitar 5-6 tema yang harus dipelajari di tingkat SD dan 4 tema untuk tingkat SMP/SMA. Agar yang dipelajari menjadi fokus, setiap tema akan membahas tiga hal khusus yang selanjutnya disebut focus of innovation. Dalam tema pameran misalnya siswa dapat memfokuskan pada, fungsi, prosedur dan seting tempatnya


Mengapa dengan model tematis?
 
Model tematis sangat membantu siswa untuk belajar hal kongkrit yang dapat ditemukan dalam realitas kehidupan siswa. Tema menjadi jendela untuk melihat dunia dan mendorong siswa untuk mengkaitkan satu konsep dengan konsep lain. Kurikulum model ini juga akan sesuai dengan pendekatan belajar project based atau problem based.
 
Kurikulum model tematis akan mendukung siswa untuk berlatih bereksplorasi menemukan kemungkinan-kemungkinan yang dapat dikembangkan atau diciptakan. Ada dua proses yang ditekankankan yaitu proses memahami dan proses mencipta. Artinya supaya dapat mencipta, siswa perlu memahami sesuatu yang sudah ada. Atau, melalui proses memahami siswa dapat melihat kemungkinan untuk menciptakan sesuatu yang baru. Diknas juga sudah mengajurkan pendekatan ini untuk dipakai di pembelajaran SD, (Diknas, 2007)
  

Apakah konsep dibidang studi tidak diperlukan sama sekali?
 
Masih diperlukan tetapi diperlakukan dengan berbeda. Dulu kita belajar matematika, bahasa dan IPS. Sekarang siswa belajar memecahkan masalah, membuat rencana kerja, mengumpulkan data. Untuk dapat melakukan tugas tersebut, siswa masih memerlukan alat seperti konsep di matematika, sains dan di pelajaran lainnya. Jadi konsep yang ditemukan dibidang studi deperlakukan sebagai "alat", bukan sebagai tujuan akhir.
 
Bagaimana mengkaitkan dengan kurikulum pemerintah?
 
Kalau dipelajari secara teliti, ternyata kurikulum terbaru (2006) dapat dikelola secara tematis. Secara hati-hati dapat dipetakan tentang apa yang perlu dipelajari siswa. Misal dikelas I SD, di kurikulum IPS, PPKN dan IPA siswa akan belajar tentang rumah. Nah, dari pada siswa belajar satu hal di tiga bidang studi lebih baik satu hal dalam sebuah tema.
 
Pengembangan menjadi tematis tidak perlu melanggar ekspektasi kurikulum nasional. Topik rumah dapat dielaborasi sampai membuat brosur tentang rumah, membuat prosedur membersihkan rumah atau membuat disain rumah sehat. Elaborasi disesuaikan dengan kondisi dan konteks kehidupan siswa, (BSNP, 2004):.
At primary level, nurturing qualities such as creativity and a spirit of initiative helps develop entrepreneurial attitudes. This is best done through active learning based on children's natural curiosity. In addition, learning about society should also include early knowledge of and contact with the world of work and business, and an understanding of the role of entrepreneurs in the community,

Apa yang perlu diperhatikan dalam proses pengembangan kurikulum seperti itu?
 
Kemampuan guru dalam membuat pemetaan tema agar tema yang dikembangkan dapat memenuhi harapan kurikulum, menjadi proses belajar siswa yang eksploratif dan mendukung siswa untuk mengembangkan kreatifitas.
 
Guru perlu mendapat pelatihan dan dukungan dari pihak pimpinan sekolah. Kemampuan guru tidak dapat tumbuh begitu saja tanpa ada proses fasilitasi dan ekspektasi. Sekolah harus mempunyai kebijakan yang mendukung pengembangan kurikulum yang tidak sekedar aspek administrasi, tapi lebih pada pengembangan esensi.
 
Aspek yang tidak dapat diintegrasikan oleh tema akan tetap diajarkan secara mandiri atau terpisah. Sehingga kurikulum pendidikan entrpreneur hanya akan mengelola aspek yang dapat diintegrasikan.

Di mana perbedaan dengan kurikulum sekolah pada umumnya?
 
Agar pendidikan entrepreneur semakin jelas, sekolah dapat menguatkan kurikulum dengan 3 aspek :
  • Aspek pertama yaitu : exposure, bentuk-bentuk aktifitas yang didisain untuk mendekatkan siswa dengan dunia nyata, membuat siswa percaya diri, terinspirasi dan tertantang. Kegiatan seperti berkunjung ke sebuah seting tempat, mengundang nara sumber dan membuat even-even pameran akan sangat menunjang proses ini.
  • Aspek kedua adalah entrepreneurial perspektif yaitu siswa melakukan sebuah kegiatan yang sangat menekankan segi entreprenerialnya. Misal, Kegiatan ekstra. Dulu ada ekstra memasak. Sekarang dapat dikembangkan menjadi sebuah kegiatan yang utuh dari mencari data tentang masakan apa yang dibutuhkan, membuat disain atau bentuk masakan, membuat masakan sampai menjual. Akhirnya siswa akan menghitung berapa modal dan penghasilan. 
  • Aspek ketiga adalah entreprenerial action. Siswa didorong untuk melakukan kegiatan nyata baik berupa kegiatan sosial atau kegiatan bisnis sesungguhnya. Misal siswa membantu memperbaiki seting sebuah warung yang kumuh menjadi lebih menarik. Dari mulai mendisain warung, mencari dana sampai mengelola tenaga yang mengerjakan renovasi. Prinsipnya kurikulum entrepreneur akan mendorong siswa untuk melakukan hal-hal yang sangat nyata yang dapat mendatangkan penghargaan dari orang lain.
 
Siapa yang berperan dalam pengembangan kurikulum?
 
Universitas Ciputra Entrepreneur Centre mengembangkan framework kurikulum dan contoh aplikasi dalam bentuk planning guru. Sekolah akan dilatih untuk mengembangkan kurikulum sendiri berdasarkan konteks riil sekolah masing - masing. Selanjutnya UCCE akan memfasilitasi sekolah kalau ada kesulitan-kesulitan.
 
 

Bagaimana model pembelajaran di sistem pendidikan entrepreneur ?
 
Dalam setiap tema yang dikembangkan dalam sebuah rangkaian proses belajar yang dinamakan siklus belajar. Sebuah siklus belajar terdiri dari 5 tahapan belajar yang satu sama lain saling berkaitan. 
  1. Tahapan eksplorasi : Siswa berlatih mencari dan menggali informasi, fakta-fakta, masalah agar dapat menemukan hal pokok yang harus dipelajari lebih fokus Hal pokok akan mengarah pada kemungkinan - kemungkinan untuk berinovasi. Proses ini juga memberi kesempatan bagi siswa untuk mempelajari pola, sistem atau konsep yang ada, (Erickson, 2002). 
  2. Tahap perencanaan : Setelah menemukan fokus yang akan dikembangkan serta memahami model atau sistem yang ada siswa mencari inspirasi untuk menemukan model/sistem baru. Pengertian baru tidak selalu 100% baru. Tapi mungkin saja ada beberapa faktor yang diganti dengan apa yang ditemukan atau diciptakan sendiri. Jadi dari model yang sudah ada, siswa mengembangkan hal yang baru. Itulah salah satu prinsip membuat inovasi. Dasar dari ini semua adalah sikap kreatif dan berani mencoba yang dituangkan kedalam sebuah rencana kerja. Tahap perencanaan akan melatih siswa untuk mempertimbangkan masalah waktu, tujuan atau target yang akan dicapai, prosedur kerja serta antisipasi tantangan yang mungkin akan ditemukan. 
  3. Tahap melakukan : Dari proses rencana siswa melakukan tindakan atau action untuk dapat menghasilkan sesuatu. Penekanan tahap ini adalah melatih siswa bekerja secara kolaborasi dan bekerja berdasarkan rencana. Siswa berlatih untuk konsisten dengan kerangka waktu dan tahapan yang ditetapkan serta memperhatikan standar perilaku kerja. 
  4.  Tahap komunikasi : Tantangan berikutnya bagi siswa adalah bagaimana dia mengkomunikasikan hasil kerja ke komunitas agar hasil kerjanya mendapat penghargaan. Tahap ini sangat perlu agak siswa berlatih ketrampilan berkomunikasi dan mengenal respon-respon dari audience. Aspek lain yang akan diperhatikan adalah rasa percaya diri dan pengetahuan tentang subject matter. 
  5. Tahap refleksi : Mengetahui atau mengenal kemajuan belajarnya sendiri atau self knowledge, merupakan hal yang penting dalam proses belajar. Bahkan proses mengenali kelemahan dan kekuatan sendiri menjadi salah satu tujuan dalam proses penilaian untuk saat ini. Tahap refleksi akan mendorong siswa untuk menidentifikasi hal yang telah dicapai dan aspek apa yang akan menjadi target berikutnya. Ini akan membantu siswa untuk mengembangkan pola belajar self directed learning.
 
Dengan mengalami siklus belajar seperti ini selama belajar diharapkan akan terbentuk pola bereksplorasi dan perilaku mencipta. Pembelajaran menjadi ajang bagi siswa untuk mencari, menemukan, mencipta dan "menjual" hasil kerjanya. Pola belajar tidak lagi "menerima" tapi proses "menghasilkan". Mengajar bukan lagi memberi, namun mengambil atau mengeluarkan potensi dari diri siswa. 

 
Bagaimana dengan sumber belajar siswa?

Apapun yang ditemui siswa yang masih punya relevansi dengan topik yang dipelajari dapat menjadi sumber belajar. Siswa tidak akan bergantung dari satu buku paket. Ketika belajar tentang rumah, siswa dapat membaca tabloid, majalah bekas, iklan, brosur, wawancara dengan nara sumber, observasi langsung tentang bentuk rumah. Bahkan kadang-kadang siswa tidak menyentuh satu buku paketpun. Buku paket dapat dipakai kalau ada korelasi dengan tema. Orang tua tidak perlu selalu membelikan buku paket baru.
  
 
Bagaimana cara mengetahui kemajuan belajar kalau tidak ada buku paket?

Kebiasaan orang tua dalam mengetahui apa yang telah dipelajari siswa dengan cara mencocokan buku paket dengan pengetahuan yang dimiliki siswa. Kalau sudah sama dengan buku, orang tua merasa tenang karena siswa akan siap pada saat ulangan. Pola seperti ini sudah tidak pas lagi untuk era sekarang. Memang mudah bagi orang tua, tapi sudah tidak pada eranya lagi.
 
Cara yang dipakai untuk melihat kemajuan atau pertumbuhan belajar siswa dengan cara melihat dan mengamati atau mendengar tentang kesan, pendapat atau hasil kerja dia. Apakah komentar dan hasil kerja siswa terkandung pengetahuan atau nilai-nilai atau tidak. Dapat juga dilihat apakah hasil kerja dia mencerminkan sebuah proses belajar yang terstruktur atau kerja spontanitas. Pendekatan ini memang tidak mudah bagi semua orang tua karena harus jeli mengamati dan dekat dengan anak sehingga dapat mengenali pertumbuhan, baik pertumbuhan, perilaku, ketrampilan atau pengetahuan.
 
Pertumbuhan belajar siswa harus muncul dalam sebuah perilaku berpikir dan bertindak. Kalau siswa sudah belajar tentang cara mengelola sampah, seharusnya perilaku dia tentang membuang sampah menjadi tidak sembarangan. Begitu juga ketika telah belajar tentang cara mengelola sebuah kegiatan ulang tahun, siswa menjadi lebih menyadari tentang sebuah proses untuk menyelenggarakan perayaan. Pengetahuan, ketrampilan dan sikap terpancar dalam tindakan berpikir dan berperilaku. Bukan sekedar kesesuaian jawaban dengan apa yang ada di buku.
 
Apakah model ini sesuai dengan semua sekolah?
 
Sesuai untuk sekolah yang mempunyai visi dan misi ke arah ini. Sangat tidak sesuai untuk sekolah yang hanya mengukur keberhasilan siswa lewat UN atau tes. Sekolah yang mengukur apa yang diketahui dan dipahami dengan tes saja akan banyak konflik dengan belief sekolah itu sendiri.
  

Berarti untuk menerapkan sistem belajar seperti ini harus menunggu komunitas siap semua?

Kalau itu yang dipercayai tidak akan pernah terjadi perubahan di sekolah tersebut. Perubahan sekolah adalah perubahan habitat yang dimotori oleh pimpinan sekolah. Pimpinan harus membuat sebuah harapan tentang standar best practices. Kondisi "siap" adalah hasil dari sebuah proses yang didisain, bukan karena terjadi kebetulan. Sehingga kalau ada sekolah yang merasa belum siap dan punya keinginan untuk menerapkan sistem pembelajaran ini, sekolah harus mendisain program pengembangan profesi yang dapat "memfasilitasi" komunitas sekolah untuk siap. Akan terjadi masalah yang kompleks kalau pimpinan sekolah juga tidak merasa siap dan tidak pernah ada usaha untuk menyiapkan diri.

Bagaimana dengan fasilitas sekolah?
 
Pembelajarann ini tidak menuntut fasilitas yang serba mewah dan lengkap. Cukup fasilitas standar seperti yang dipunyai sekolah pada umumnya. Memang betul, semakin lengkap fasilitas semakin mudah dan lancar proses belajar siswa. Tapi fasilitas tidak berfungsi dengan baik kalau kemampuan guru dalam mengelola fasilitas rendah.

Berapa % dari mata pelajaran yang dapat dikaitkan dengan pendidikan entrepreneur?
 
Tidak ada rumus yang pasti karena sangat tergantung dari apa yang dipelajari siswa dan kemampuan guru mengelaborasi. Topik doa dalam pelajaran agama tentunya tidak dipakai sebagai alat propaganda, cukup sampai bagaimana siswa dapat mengkomunikasikan harapan, rasa syukur dengan sikap dan bahasa yang sesuai. Tapi topik perayaan dapat dielaborasi sampai anak membuat disain perayaan dan mempromosikan perayaan ke komunitas sekolah, membuat perayaan yang dapat menimbulkan kesan positif dari orang yang menghadirinya. Sebaiknya setiap mata pelajaran pernah bergabung dalam bentuk tema agar dapat mewarnai tema yang dieksplorasi siswa. 

Sumber : http://www.ciputra.org/.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar