“It’s easier to build strong children than to repair broken men”
Federick Douglass
Tahun 2013 ini, diproyeksikan sebagai tahun para usahawan oleh Bandung Entreprenuer Forum; demikian yang dilansir oleh situs Harian Seputar Indonesia pada Selasa 26 Februari 2013 lalu. Dalam warta tersebut tersirat suatu optimisme yang kuat akan masa depan wirausaha yang lebih baik serta dapat merangkul lebih banyak anggota masyarakat untuk menjadi usahawan-usahawan handal dari tahun ke tahun, khusunya pada usia produktif, dan lebih khusus lagi pada usia muda.
Sebagai sebuah gerakan, segala yang dilakukan oleh banyak organisasi-organisasi wirausaha semacam Bandung Entrepreneur Forum, dalam membangun kesadaran berwirausaha bagi masyarakat Indonesia secara luas sangatlah konstruktif dan mencerahkan. Namun, kebanyakan darinya terjebak dalam pola gerak yang cenderung latah dan instan. Sehingga mencetak out put yang kurang berkarakter. Dan akhirnya, yang muncul di permukaan hanyalah sekedar euforia tren sebuah zaman.
Kondisi semacam ini tidaklah mengherankan, karena pada awal kebangkitannya di Indonesia, kewirausahaan atau entrepreunership adalah sebuah aufklarung yang hembusannya berasal dari negara lain, walaupun sejatinya sejarah mencatat bangsa Indonesia sebagai sebuah bangsa yang sebagian besar kehidupannya ditopang oleh kegiatan entrepreuneur sejak zaman kerajaan. Heriyanti Ongkodharma Untoro dalam bukunya (Kapitalisme Pribumi Awal, Kesultanan Banten 1522-1684, Kajian Arkeolegi Ekonomi) mengungkapakan bahwa Kesultana Banten merupakan pengekspor lada terbaik dan terbesar dunia. Dan, secara umum kita mengetahui bahwa kedatangan para penjajah adalah karena harumnya rempah-rempah (komoditas) bumi nusantara.
Karena dianggap sebagai produk pemikiran dan bagian dari budaya barat, sedang Indonesia kerap mengiblatkan diri padanya, maka entrepreunership menjadi tren yang patut diikuti. Sayangnya, pemahaman atas makna entrepreneuship tersebut entah bagaimana menyempit pada ruang lingkup trading saja, atau hanya sebagai sebuah profesi (wirausahawan) saja. Lebih dari itu, entrepreneur merupakan suatu bentuk gaya hidup yang terefleksi pada karakter dan watak, bukan sekedar karier atau pekerjaan.
Geoffrey G. Meredith et al dalam bukunya (Kewirausahaan Teori dan Praktek), memberikan definisi entrepreneur sebagai: orang-orang yang memiliki kemampuan melihat dan menilai kesempatan-kesempatan bisnis, mengumpulkan sumber-sumber daya yang dibutuhkan guna mengambil keuntungan dari padanya dan mengambil tindakan yang tepat guna memastikan sukses. Ia pun memaparkan bahwa para wirausaha (entrepreneur) adalah mereka yang selalu berorientasi pada tugas dan hasil dan bermotivasi tinggi yang juga berani mengambil resiko dalam tujuannya. Lebih jelas lagi, Goeffrey G. Meredith memberikan ciri-ciri mereka yang berjiwa wirausaha; yaitu: memiliki percaya diri, berjiwa kepemimpinan, memiliki orisinalitas (inovatif dan kreatif) dan, berorientasi pada masa depan.
Bersandar pada pemahaman makna entrepreneur tersebut, mencetak wirausaha-wirausaha yang handal dan benar-benar berjiwa wirausaha nampaknya bukanlah sesuatu yang dapat dilakukan dengan kilat, sebagaimana manusia diajari untuk mampu berjalan dengan baik dan benar. Tidak sekonyong-konyong dapat menggerakkan kakinya begitu saja dan berjalan atau berlari. Mencetak seorang wirausaha adalah mencetak seorang pribadi dengan kualifikasi karakter tertentu, diluar dan bersamaan dengan keunikan dan potensinya sebagai pribadi. Ini adalah sebuah proses yang bertahap dan berkesinambungan, layaknya suatu proses pendidikan karakter, harus dimulai sejak dini.
Kegiatan pendidikan wirausaha sejak dini ini seyogyanya diawali dari rumah, karena rumah adalah kelas pertama yang dikenal oleh manusia (anak) sejak ia lahir dan belajar membuka mata serta membunyikan pita suaranya. Selanjutnya, setelah usianya mencukupi untuk bersekolah, maka sekolah ikut pula berperan dalam pengembangan kepribadian dan kecakapannya kemudian.
Rumah
Seorang wirausaha yang sukses dapat dipastikan memiliki mental tahan banting, tidak mudah menyerah dan mampu mengelola stres dengan baik. Sikap mental ini biasanya kita sebut dengan optimis. Maka, seorang wirausaha sukses adalah ia yang selalu optimis.
Femi Olivia dan Lita Ariani, S.Sp dalam bukunya (Inner Healing @School) menuliskan bahwa ada beberapa bahan baku utama dalam membentuk manusia yang dapat mengelola stres dengan baik dan tahan banting (optimis), yaitu: 1) sehat fisik dan mental; 2) Pola asuh dan; 3) lingkungan yang kondusif.
Menilik pada tulisan tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa salah satu hal yang harus diperhatikan dalam proses membentuk seorang wirausaha adalah pola asuh. Pola asuh ini sangatlah erat kaitannya dengan rumah, dengan keluarga, khususnya orang tua.
Orang tua atau keluarga sebagai orang-orang pertama yang bersentuhan secara langsung dengan individu-individu baru (anak-anak) adalah orang-orang yang memberi pengaruh pertama, setidaknya kesan pertama, baik banyak ataupun sedikit; dimana pengaruh atau kesan tersebut akan membekas dalam memori yang dapat memengaruhi perkembangan individu tersebut dalam jangka panjang. Oleh karenanya, keluarga di rumah memiliki urgensitas tinggi terhadap pembentukan karakter seorang anak, dalam hal ini membentuk jiwa wirausahanya.
Secara umum, orang tua memiliki ekspektasi yang besar terhadap anak-anaknya untuk menjadi pribadi yang unggul. Maka, dapat dipastikan setiap orang tua menginginkan anak-anak tersebut dapat berproses menjadi seseorang yang berjiwa wirausaha yang selalu optimis, karena orang tua juga menyadari bahwa tantangan masa depan akan semakin besar sehingga sikap optimis tersebut sangat penting dimiliki oleh anak.
Mendidik anak menjadi wirausaha bukan hanya bermakna mendidik anak menjadi pedagang. Lebih dari itu, mendidik anak menjadi wirausaha adalah mendidik ia menjadi pribadi yang unggul dengan karakter-karakter yang memang semestinya dimiliki oleh seorang manusia yang hidupnya berkualitas.
Sekolah
UU No.20 Tahun 2003 pada Bab IV Pasal 6 menyebutkan: “Setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar”. Sementara itu, pada Bab VI Pasal 17 tercantum: “Pendidikan dasar berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat.” Dan Bab IV Pasal 7 berbunyi:” Orang tua dari anak usia wajib belajar, berkewajiban memberikan pendidikan dasar kepada anaknya.”
Berdasar pada undang-undang tersebut, maka penyelenggara pendidikan (sekolah) juga ikut andil dalam mencetak seorang wirausaha, karena sebagian waktu anak dihabiskan di sekolah. Selain itu, sekolah dapat menjadi wahana yang potensial untuk pengembangan diri, dalam hal ini pembentukkan karakter wirausaha, karena di sanalah seseorang dididik secara formal untuk menjadi lebih baik, untuk mempersiapkan masa depannya dengan beragam ilmu dan keterampilan.
Namun sangat disayangkan, sekolah yang seharusnya dapat berperan besar terhadap pembentukan karakter wirausaha belum dilengkapi dengan kurikulum yang menunjang. Secara umum, entrepreneurship belum berkembang dalam sistem pendidikan di Indonesia. Urgensitas pendidikan karakter wirausaha sejak dini belum begitu dianggap, sehingga hampir absen sama sekali dalam perangkat kurikulum pendidikan nasional. Jika pun ada pada jenjang pendidikan menengah, yaitu pada Sekolah Menengah Kejuruan (SMK); orientasinya belum jelas. Sebab, pada akhirnya SMK lebih banyak meluluskan buruh (lulusan siap kerja) saja. Pendidikan kewirausahaan pada SMK pun belum menyentuh pada pendidikan karakter. Alhasil, pencetakkan wirausahawan muda pada fase ini mengalami stagnasi, bahkan mati.
Rumah dan sekolah seyogyanya dapat menjadi ladang yang subur untuk menyemai bibit-bibit wirausaha yang unggul. Sebab, pendidikan wirausaha adalah pendidikan karakter yang seharusnya dimulai sejak dini. Jiwa kepemimpinan, kemandirian, disiplin, optimis, inovatif bukanlah sebuah proses yang singkat. Orang dengan jiwa-jiwa kewirausahaan semacam ini diharapkan dapat menjawab setiap tantangan zaman yang kian waktu kian dahsyat. Dan, membentuk jiwa suatu individu tentulah lebih mudah dilakukan pada masa ia mulai tumbuh, dibandingkan ketika ia telah mendapati bentuknya. Memang bukan hal yang mustahil untuk mendidik siapapun, kapan pun. Hanya saja, prosesnya akan lebih sulit dan hasilnya tidak akan maksimal. Sebagaimana yang dikatakan oleh Federick Douglass.
Sumber : http://saadatunnisafaisol.wordpress.com/.