Apa prinsip penilaian yang dipakai?
Penilaian adalah sebuah proses yang berkelanjutan untuk mendeteksi kekuatan dan kelemahan siswa dalam aspek mindsets/karakter, skills dan pengetahuan. Pada era sekarang manfaat penilaian sebenarnya diperuntukan bagi siswa agar mereka sendiri yang lebih mengenali kelebihan dan kelemahannya sendiri, (Wiggins & McTighe, 1998). Asumsinya, siswa yang mengenali kekuatan dan kelemahanan sendiri akan mudah membentuk sikap belajar, terutama self directed learning.
Selain berkesinambungan, penilaian adalah bersifat terbuka yaitu siswa tahu aspek yang dinilai dan kriteria penilaian sebelum mereka memulai belajar. Aspek yang dinilai lebih dominan pada kinerja yang merefleksikan pengetahuan, kecakapan dan karakter atau mindset.
Setiap tahapan proses belajar dapat terjadi proses penilaian. Tahapan eksplorasi siswa dinilai tentang kemampuan mendisain alat mencatat data, kemampuan melihat kemungkinan, mengambil kesimpulan, pada saat action dapat dinilai tentang kerjasamanya, ketepatan waktu, ketrampilan mengelola bahan. Di tahap komunikasi dinilai kemampuan menjelaskan tentang subject matter-nya, kemampuan persuasifnya serta sikap menghargai audience-nya. Penilaian tidak sekedar mengingat kembali apa yang pernah dibaca.
Apakah tes masih perlu?
Tes dapat dipakai sebagai alat menilai tapi tidak selalu diperlukan. Guru dapat menilai dengan cara analisa hasil kerja, observasi cara kerja dan perilaku belajar. Untuk mendeksi pengetahuan siswapun tidak selalu dengan tes. Dengan presentasi dan konferensi, pengetahuan siswa terhadap subject matter dapat terdeteksi.
Penilaian adalah sebuah proses yang berkelanjutan untuk mendeteksi kekuatan dan kelemahan siswa dalam aspek mindsets/karakter, skills dan pengetahuan. Pada era sekarang manfaat penilaian sebenarnya diperuntukan bagi siswa agar mereka sendiri yang lebih mengenali kelebihan dan kelemahannya sendiri, (Wiggins & McTighe, 1998). Asumsinya, siswa yang mengenali kekuatan dan kelemahanan sendiri akan mudah membentuk sikap belajar, terutama self directed learning.
Selain berkesinambungan, penilaian adalah bersifat terbuka yaitu siswa tahu aspek yang dinilai dan kriteria penilaian sebelum mereka memulai belajar. Aspek yang dinilai lebih dominan pada kinerja yang merefleksikan pengetahuan, kecakapan dan karakter atau mindset.
Setiap tahapan proses belajar dapat terjadi proses penilaian. Tahapan eksplorasi siswa dinilai tentang kemampuan mendisain alat mencatat data, kemampuan melihat kemungkinan, mengambil kesimpulan, pada saat action dapat dinilai tentang kerjasamanya, ketepatan waktu, ketrampilan mengelola bahan. Di tahap komunikasi dinilai kemampuan menjelaskan tentang subject matter-nya, kemampuan persuasifnya serta sikap menghargai audience-nya. Penilaian tidak sekedar mengingat kembali apa yang pernah dibaca.
Apakah tes masih perlu?
Tes dapat dipakai sebagai alat menilai tapi tidak selalu diperlukan. Guru dapat menilai dengan cara analisa hasil kerja, observasi cara kerja dan perilaku belajar. Untuk mendeksi pengetahuan siswapun tidak selalu dengan tes. Dengan presentasi dan konferensi, pengetahuan siswa terhadap subject matter dapat terdeteksi.
Bagaimana cara melihat keberhasilan siswa?
Keberhasilan lebih terlihat pada sebuah pertumbuhan, sehingga yang perlu dihargai dari siswa adalah pertumbuhan yang dimunculkan lewat perilaku atau kinerjanya.. Harus diingat menilai adalah menghargai, bukan untuk mencari kesalahan. Faktor yang dihargai adalah pertumbuhan. Setiap usaha untuk membuat pertumbuhan, apakah di aspek pengetahuan, ketrampilan atau sikap perlu mendapat penghargaan.
Keberhasilan dapat terlihat lewat ketercapaian target yang telah ditetapkan. Kalau siswa mencapai target dan dapat dibuktikan lewat indikator-indikator yang terobservasi.dia dapat dinyatakan berhasil. Jadi keberhasilan siswa satu dengan yang lain bisa berbeda, tergantung dari kemampuan mencapai target.
Selama ini praktek menilai di banyak sekolah terlanjur hanya memperhatikan aspek pengetahuan yang dapat diingat atau dipahami. Semakin banyak yang dingat dianggap semakin baik. Perilaku ini muncul dalam bentuk tes. Tes menjadi sangat dominan dalam praktek menilai. Bahkan sekolah cenderung untuk memperbanyak tes karena dianggap akan memacu siswa untuk belajar. Prestasi siswa dilihat dari hasil atau nilai skor yang didapat dari tes. Akhirnya perilaku belajar disetir oleh tes.
Pendidikan entrpreneurship akan mengubah perilaku menilai, karena kurikulum pendidikan entrepreneur menempatkan karakter menjadi aspek yang penting bagi pertumbuhan siswa, karena akan membantu siswa mengembangkan kebajikan-kebajikan (virtue), "The Content of good Chracter is virtue", (Lickona, 2004, h. 7)
Proses menilai tidak selalu dengan menggunakan alat tes. Pertumbuhan siswa akan terlihat dari apa yang telah dilakukan dan hasil kerjanya. Kemampuan bekerja sama akan terlihat melalui cara siswa bekerja dalam tim. Kemampuan berkomunikasi terlihat lewat presentasi dan cara menturakan ide.Tidak perlu selalu menggunakan tes. Model-model penilaian seperti ini sering disebut dengan penilaian otentik, (Burke, 1999)
Keberhasilan lebih terlihat pada sebuah pertumbuhan, sehingga yang perlu dihargai dari siswa adalah pertumbuhan yang dimunculkan lewat perilaku atau kinerjanya.. Harus diingat menilai adalah menghargai, bukan untuk mencari kesalahan. Faktor yang dihargai adalah pertumbuhan. Setiap usaha untuk membuat pertumbuhan, apakah di aspek pengetahuan, ketrampilan atau sikap perlu mendapat penghargaan.
Keberhasilan dapat terlihat lewat ketercapaian target yang telah ditetapkan. Kalau siswa mencapai target dan dapat dibuktikan lewat indikator-indikator yang terobservasi.dia dapat dinyatakan berhasil. Jadi keberhasilan siswa satu dengan yang lain bisa berbeda, tergantung dari kemampuan mencapai target.
Selama ini praktek menilai di banyak sekolah terlanjur hanya memperhatikan aspek pengetahuan yang dapat diingat atau dipahami. Semakin banyak yang dingat dianggap semakin baik. Perilaku ini muncul dalam bentuk tes. Tes menjadi sangat dominan dalam praktek menilai. Bahkan sekolah cenderung untuk memperbanyak tes karena dianggap akan memacu siswa untuk belajar. Prestasi siswa dilihat dari hasil atau nilai skor yang didapat dari tes. Akhirnya perilaku belajar disetir oleh tes.
Pendidikan entrpreneurship akan mengubah perilaku menilai, karena kurikulum pendidikan entrepreneur menempatkan karakter menjadi aspek yang penting bagi pertumbuhan siswa, karena akan membantu siswa mengembangkan kebajikan-kebajikan (virtue), "The Content of good Chracter is virtue", (Lickona, 2004, h. 7)
Proses menilai tidak selalu dengan menggunakan alat tes. Pertumbuhan siswa akan terlihat dari apa yang telah dilakukan dan hasil kerjanya. Kemampuan bekerja sama akan terlihat melalui cara siswa bekerja dalam tim. Kemampuan berkomunikasi terlihat lewat presentasi dan cara menturakan ide.Tidak perlu selalu menggunakan tes. Model-model penilaian seperti ini sering disebut dengan penilaian otentik, (Burke, 1999)
Siapa saja yang dilibatkan dalam proses menilai?
Yang sangat terlibat adalah siswa sendiri. Siswa harus tahu target apa yang akan dicapai dan kriteria seperti apa yang dipakai. Siswa didorong untuk menentukan target agar proses self directed learning dapat terbangun. Guru membantu siswa agar tetap konsisten dengan target yang telah ditetapkan. Tanpa keterlibatan siswa dalam proses menilai, pendidikan entrepreneur menjadi tidak efektif karena siswa tidak terlatih untuk mengembangkan rasa memiliki terhadap proses belajarnya.
Apakah model penilaian tersebut sesuai dengan harapan pemerintah?
Sebenarnya pemerintah telah mengajurkan sistem penilaian kinerja atau penilaian otentik. Sayangnya aplikasi sistem ini lebih dominan administrasinya. Mungkin karena kemampuan SDM masih terbatas dan belum ada pengalaman yang dapat dijadikan referensi.
Bagaimana menghadapi orang tua yang masih berorentasi pada nilai angka 1 - 10?
Sebaiknya tidak usah terlalu mengkonflikan antara mau pakai skor atau tidak. Yang penting nilai skor selalu punya makna. Apa bedanya anak yang mendapat nilai 7 dan 8? Nilai delapan lebih tinggi, tapi beda kemampuan riilnya ? Selama ini nilai hanya sebagai alat untuk membandingkan. Nilai 8 lebih baik dari 7.
Guru masih dapat memberikan nilai 7 atau 8. Tapi setiap nilai sebaiknya punya makna. Nilai 7 berarti siswa dapat ...., begitu juga dengan nilai 9 artinya siswa dapat menunjukan kemampuan seperti apa? Orang tua kadang-kadang memang memperdebatkan perbedaan nilai 0,5. Seolah-olah menjadi sangat penting. Tapi sebenarnya nilai 0,5 itu mewakili kemampuan apa?
Sekolah sebaiknya membuat program-program untuk orang tua. Biasanya disebut pendidikan untuk orang tua. Tujuannya untuk memperkenalkan kembali hal-hal baru yang akan dilakukan oleh sekolah. Sekolah tidak perlu terlalu kuatir kalau masih ada persepsi yang tidak sama dari orang tua, karena proses menyamakan persepsi memang memerlukan waktu.
Peran Guru
Guru seperti apa yang sesuai dengan pendidikan entrepreneur?
Guru yang terbuka dan mau belajar hal-hal baru. Itu syarat mutlak. Guru seperti ini tidak menjadikan pengalaman pribadinya menjadi standar kerjanya. Bisa jadi apa yang telah dipelajari dan dilakukan selama ini tidak dipakai lagi karena dia mendapat hal yang baru dan lebih berguna bagi perkembangan siswanya. Guru belajar dari masa lalu sedangkan mereka harus menyiapkan siswa untuk hidup di masa yang akan datang. Pengalaman belajar masa lalu tidak sepenuhnya dapat diaplikasikan untuk masa depan.
Mindset guru harus berubah karena mengajar tidak lagi memberi, tapi mendampingi dan memberikan insiprasi-inspirasi agar siswa dapat menjalani tahapan-tahapan belajar untuk menghasilkan inovasi. Guru harus mengembangkan habit eksplorasi, merencanakan, mencipta, berbagi dan refleksi. Sebenarnya ini sama dengan siklus belajar siswa, cuma area yang dipelajari berbeda.
Make it your goal to affect not only the minds of your students but their lives as well. Influence them. Lead them. Let your personal disciplines be a classroom where your students will learn how to live, and not just how to spell or count. If that's your goal, your work will go on long after you're gone
"Great teachers don't produce a product; they produce an effect", Toler, 2005
Habit merencanakan penting karena guru tidak dapat mengajar tanpa perencanaan yang baik. Perencanaan tidak dilihat dari sisi administrasinya. Melainkan esensi yang dapat membuat siswa mengembangkan kreatifitas dan inovasinya.
Kompetensi yang sangat penting adalah kompetensi belajar dan mengajar. Guru akan mengalami kesulitan kalau dia tidak mempunyai kebiasaan belajar hal-hal baru. Aspek dari kompetensi mengajar yang penting untuk dikembangkan adalah cara untuk memfasilitasi siswa menemukan ide-ide baru. Pada tahap eksplorasi guru harus mampu mengarahkan siswa dengan disain tahapan belajar yang sistematis dan bertahap tanpa mengurangi kesempatan bagi siswa untuk berlatih menemukan kesempatan
Guru memberi kesempatan siswa membuat interpretasi dan mencari hubungan satu konsep dangan konsep lain serta mengambil kesimpulan. Pada tahap perencanaan, guru berperan sebagai advisor agar siswa dapat membuat rencana kerja sesuai dengan terget yang harus dicapai. Tekhnik-teknik memberikan inspirasi perlu dikuasai. Di tahap komunikasi guru berperan sebagai sparing partner siswa dengan memberikan pancingan-pancingan agar cara siswa berkomunikasi fokus dan meyakinkan. Guru berperan sebagai kritikus yang memberikan masukan-masukan agar siswa menjadi reflektif dan mengenali hal yang perlu diperhatikan. Peran dan kompetensi guru dalam mengajar menjadi bervariasi.
Bagaimana cara mengembangkan kompetensi guru?
Melalui pengembangan program profesional guru yang terencana dan berkesinambungan. Guru yang baik tidak lahir tapi melalui proses yang didisain. Sekolah perlu mengagendakan kegiatan pengembangan guru dalam kalender akademik. Dua prinsip yang penting dalam pengembangan kompetensi guru. Pertama standar ekspektasi sekolah. Ada indikator-indikator perilaku yang terbaik yang diharapkan oleh sekolah. Misal : Apa ciri mengajar yang baik? Standar tersebut harus tertuang dalam dokumen sekolah dan semua guru mengacu ke standar tersebut. Kedua, melalui proses fasilitasi. Tidak semua guru mampu mencapai standar yang ditetapkan. Itu adalah kondisi yang sangat wajar di semua sekolah. Untuk itu sekolah perlu memfasilitasi mereka dengan program-program training, workshop dan pendampingan.
Ekspektasi tanpa fasilitasi membuat guru frustasi dan putus asa. Sebaliknya fasilitasi tanpa ekspektasi dapat membuat guru tidak fokus dan masing-masing guru dapat mengembangkan standar sendiri. Standar yang tidak sama membuat misi dan image sekolah menjadi tidak jelas.
Guru yang terbuka dan mau belajar hal-hal baru. Itu syarat mutlak. Guru seperti ini tidak menjadikan pengalaman pribadinya menjadi standar kerjanya. Bisa jadi apa yang telah dipelajari dan dilakukan selama ini tidak dipakai lagi karena dia mendapat hal yang baru dan lebih berguna bagi perkembangan siswanya. Guru belajar dari masa lalu sedangkan mereka harus menyiapkan siswa untuk hidup di masa yang akan datang. Pengalaman belajar masa lalu tidak sepenuhnya dapat diaplikasikan untuk masa depan.
Mindset guru harus berubah karena mengajar tidak lagi memberi, tapi mendampingi dan memberikan insiprasi-inspirasi agar siswa dapat menjalani tahapan-tahapan belajar untuk menghasilkan inovasi. Guru harus mengembangkan habit eksplorasi, merencanakan, mencipta, berbagi dan refleksi. Sebenarnya ini sama dengan siklus belajar siswa, cuma area yang dipelajari berbeda.
Make it your goal to affect not only the minds of your students but their lives as well. Influence them. Lead them. Let your personal disciplines be a classroom where your students will learn how to live, and not just how to spell or count. If that's your goal, your work will go on long after you're gone
"Great teachers don't produce a product; they produce an effect", Toler, 2005
Habit merencanakan penting karena guru tidak dapat mengajar tanpa perencanaan yang baik. Perencanaan tidak dilihat dari sisi administrasinya. Melainkan esensi yang dapat membuat siswa mengembangkan kreatifitas dan inovasinya.
Kompetensi yang sangat penting adalah kompetensi belajar dan mengajar. Guru akan mengalami kesulitan kalau dia tidak mempunyai kebiasaan belajar hal-hal baru. Aspek dari kompetensi mengajar yang penting untuk dikembangkan adalah cara untuk memfasilitasi siswa menemukan ide-ide baru. Pada tahap eksplorasi guru harus mampu mengarahkan siswa dengan disain tahapan belajar yang sistematis dan bertahap tanpa mengurangi kesempatan bagi siswa untuk berlatih menemukan kesempatan
Guru memberi kesempatan siswa membuat interpretasi dan mencari hubungan satu konsep dangan konsep lain serta mengambil kesimpulan. Pada tahap perencanaan, guru berperan sebagai advisor agar siswa dapat membuat rencana kerja sesuai dengan terget yang harus dicapai. Tekhnik-teknik memberikan inspirasi perlu dikuasai. Di tahap komunikasi guru berperan sebagai sparing partner siswa dengan memberikan pancingan-pancingan agar cara siswa berkomunikasi fokus dan meyakinkan. Guru berperan sebagai kritikus yang memberikan masukan-masukan agar siswa menjadi reflektif dan mengenali hal yang perlu diperhatikan. Peran dan kompetensi guru dalam mengajar menjadi bervariasi.
Bagaimana cara mengembangkan kompetensi guru?
Melalui pengembangan program profesional guru yang terencana dan berkesinambungan. Guru yang baik tidak lahir tapi melalui proses yang didisain. Sekolah perlu mengagendakan kegiatan pengembangan guru dalam kalender akademik. Dua prinsip yang penting dalam pengembangan kompetensi guru. Pertama standar ekspektasi sekolah. Ada indikator-indikator perilaku yang terbaik yang diharapkan oleh sekolah. Misal : Apa ciri mengajar yang baik? Standar tersebut harus tertuang dalam dokumen sekolah dan semua guru mengacu ke standar tersebut. Kedua, melalui proses fasilitasi. Tidak semua guru mampu mencapai standar yang ditetapkan. Itu adalah kondisi yang sangat wajar di semua sekolah. Untuk itu sekolah perlu memfasilitasi mereka dengan program-program training, workshop dan pendampingan.
Ekspektasi tanpa fasilitasi membuat guru frustasi dan putus asa. Sebaliknya fasilitasi tanpa ekspektasi dapat membuat guru tidak fokus dan masing-masing guru dapat mengembangkan standar sendiri. Standar yang tidak sama membuat misi dan image sekolah menjadi tidak jelas.
Bagaimana kalau ada guru yang tidak mampu atau tidak mau?
Kalau tidak mampu, masih ada harapan untuk dimampukan. Tapi kalau ada guru tidak mau berkembang, harus dilihat faktor yang membuat ia tidak mau. Kalau guru punya ideologi atau standar referensi lain, ini menjadi PR sekolah. Sekolah manapun akan sulit untuk mengelola guru yang mempunyai standar ideologi yang berbeda. Tapi sebenarnya ideologi guru dapat berubah kalau sekolah punya ekspektasi yang kuat dengan disertai program fasilitasi.
Kalau tidak mampu, masih ada harapan untuk dimampukan. Tapi kalau ada guru tidak mau berkembang, harus dilihat faktor yang membuat ia tidak mau. Kalau guru punya ideologi atau standar referensi lain, ini menjadi PR sekolah. Sekolah manapun akan sulit untuk mengelola guru yang mempunyai standar ideologi yang berbeda. Tapi sebenarnya ideologi guru dapat berubah kalau sekolah punya ekspektasi yang kuat dengan disertai program fasilitasi.
Apakah usia guru berpengaruh terhadap program ini?
Guru yang bekerja tanpa ada ekspektasi dari lingkungan akan cenderung kerja rutin. Kerja rutin dalam jangka waktu lama akan membuat guru menjadi individualis. Apa yang dikerjakan dijadikan standar best practices. Guru tersebut tidak terdorong mencari referensi-referensi di luar dirinya. Apa yang sudah dikerjakan dianggap baik untuk semuanya. Situasi seperti ini yang membuat guru menjadi sulit berubah
Situasi akan bertambah rumit kalau setiap guru mempunyai standar sendiri-sendiri. Bahkan cara kerja guru lain yang tidak produktif dijadikan referensi baginya. Ungkapan seperti, "Dia mengajar seperti itu juga dapat gaji yang sama, mengapa saya harus kerja lebih keras?" jelas menunjukan kalau guru saling membuat standar berdasarkan apa yang dikerjakan guru lain.
Sebaliknya kalau sekolah mempunyai ekspektasi kuat yang dituangkan ke dalam dokumen kebijakan dan dijadikan sebagai standar best practices sekolah, semua guru akan mengacu ke standar tersebut. Standar ditinjau secara periodik agar profesionalisme guru tetap berkembang. Sekolah yang mempunyai sistem seperti ini, akan memacu guru (berapapun usianya) untuk tetap belajar. Kalau sekolah sudah mempunyai sistem seperti ini tapi masih ada guru yang tidak mau berkembang, berarti guru tersebut (mungkin) tidak sesuai untuk sekolah yang menerapkan sistem pendidikan entrepreneurship.
Guru yang bekerja tanpa ada ekspektasi dari lingkungan akan cenderung kerja rutin. Kerja rutin dalam jangka waktu lama akan membuat guru menjadi individualis. Apa yang dikerjakan dijadikan standar best practices. Guru tersebut tidak terdorong mencari referensi-referensi di luar dirinya. Apa yang sudah dikerjakan dianggap baik untuk semuanya. Situasi seperti ini yang membuat guru menjadi sulit berubah
Situasi akan bertambah rumit kalau setiap guru mempunyai standar sendiri-sendiri. Bahkan cara kerja guru lain yang tidak produktif dijadikan referensi baginya. Ungkapan seperti, "Dia mengajar seperti itu juga dapat gaji yang sama, mengapa saya harus kerja lebih keras?" jelas menunjukan kalau guru saling membuat standar berdasarkan apa yang dikerjakan guru lain.
Sebaliknya kalau sekolah mempunyai ekspektasi kuat yang dituangkan ke dalam dokumen kebijakan dan dijadikan sebagai standar best practices sekolah, semua guru akan mengacu ke standar tersebut. Standar ditinjau secara periodik agar profesionalisme guru tetap berkembang. Sekolah yang mempunyai sistem seperti ini, akan memacu guru (berapapun usianya) untuk tetap belajar. Kalau sekolah sudah mempunyai sistem seperti ini tapi masih ada guru yang tidak mau berkembang, berarti guru tersebut (mungkin) tidak sesuai untuk sekolah yang menerapkan sistem pendidikan entrepreneurship.
Peran Kepala Sekolah
Kepala sekolah seperti apa yang sesuai dengan pendidikan entrepreneur?
Pertama, kepala sekolah yang dapat berperan sebagai curriculum leader, yaitu penggagas dan pengambil keputusan aplikasi kurikulum. Peka untuk memberikan referensi-referensi ketika guru menghadapi kesulitan dalam menterjemahkan konsep ke praktek. Dalam hal-hal tertentu KS harus mengambil resiko untuk bertanggung jawab kalau kebijakan kurikulum sekolah berbeda dengan sekolah lain. Pengetahuan tentang kurikulum sangat perlu agar argumentasi dan penjelasan aplikasi kurikulum selalu dari perspektif filosofi kurikulum yang dijalankan dan demi kepentingan siswa.
Aplikasi kurikulum selalu mempertimbangkan isu-isu yang mungkin akan muncul sehingga strategi implementasi didisain dan melibatkan orang-orang kunci di sekolah. Seandainya ada pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan kebijakan kurikulum, KS harus mampu menjelaskan dengan disertai contoh dari best practices yang ditemukan.
Kedua, kepala sekolah adalah simbol ekspektasi sekolah. Visi dan misi sekolah sebenarnya mempunyai harapan-harapan untuk dioperasionalkan. Kepala sekolah harus mampu menangkap dan bekerja berdasarkan harapan tersebut. Harapan-harapan verbal yang disampaikan KS akan berpengaruh pada perilaku guru. Semakin kuat ekspektasi semakin banyak kemungkinan perilaku guru akan berubah. Inisiatif-inisiatif untuk bertindak guna memberikan dukungan bagi guru yang mecoba membuat implementasi berpengaruh pada kinerja guru dan mereka akan merasa aman untuk mencoba hal-hal baru.
Ketiga, kepala sekolah yang dapat membangun dan mengelola kultur kerja secara kolaborasi. Cara kerja seperti ini tidak muncul dengan sendirinya. Kerja tim dimulai dengan komitmen untuk membuat agenda rapat guru secara teratur dan terjadwal.
Bagaimana cara mengembangkan kompetensi kepala sekolah?
Prinsipnya sama dengan guru. Harus ada keberanian untk mengambil resiko dan mempunyai habit belajar dan terbuka. Kepala sekolah saat ini tidak sekedar menjadi pelaku kebijakan, melainkan sebagai pembuat dan pengelola kebijakan.
Masuk jejaring sangat membantu kepala sekolah karena akan saling memberikan inspirasi dan penguatan konsep-konsep yang dimilikinya. Kecenderungan kepala sekolah ketika masuk ke sebuah lingkaran jejaring, mudah terikat pada sistem sosial. Walaupun tidak setuju tapi tetap menjalankan program demi rasa solidaritas. Mereka tidak sependapat tapi tidak mau berbeda karena demi kebersamaan. Jejaring yang mengikat seperti ini menjadi tidak produktif karena hanya penguatkan aspek sosial. Tidak mendorong kepala sekolah untuk mengambil tindakan-tindakan inovatif.
Jejaring yang diharapkan adalah yang fokus pada pembentukan pola kerja berdasarkan pertimbangan-pertimbangan profesi. Semakin kuat dalam jejaring, semakin banyak hal yang didapat untuk dijadikan referensi pengembangan sekolah.
Kepala sekolah juga berperan menjadi opportunity seeke atau opportunty creatorr, mencari peluang pengembangan. Dengan ketrampilan belajarnya, KS melakukan evaluasi dan refleksi yang terus-menerus untuk menentukan target peningkatan berikutnya. Kalau ditanya, apa lagi yang perlu diperbaiki? KS dengan jelas dapat mengutarakan data-data yang perlu diperhatikan. KS sebagai agen yang dapat membentuk kultur perbaikan yang berkisambungan, continous improvement.
Bagaimana kalau misi kepala sekolah dalam menyelengarakan sekolah tidak sama dengan misi pendidikan entrepreneur?
Kemungkinan akan timbul masalah. KS akan menjadi part of the problem. Yang ideal KS sebagai part of the solution. Memang masih banyak KS yang sudah terlanjur terikat dengan satu referensi dan satu model, yaitu model yang telah diberikan oleh DIKNAS. Kalau sekolah diharuskan mengembangkan model sendiri, ada perasaan kuatir dan bersalah kalau tidak disetujui oleh pengawas. KS menjadi tidak percaya diri untuk menjalankan sistem yang berbeda, apalagi membuat sistem yang berbeda.
Pendidikan entreprepreneur tidak dapat bekerja dengan KS sepert itu. Kita memerlukan KS yang mempunyai jiwa dan spirit entrpreneur juga. Berani mengambil resiko dan selalu mencoba untuk berinovasi. Inovasi selalu menghasilkan dampak perbedaan. Perbedaan menjadi hal yang wajar.
Kita juga memerlukan KS yang komunikator, yang dapat menjelaskan ide-idenya dengan perspektif edukatif dan dengan pemilihan bahasa serta sikap yang dapat membuat audience memberikan respon positif. Seorang komunikator mempunyai cara untuk merespon ide-ide yang tidak sesuai dengan misi sekolah tanpa mengurangi penghargaan pada orangnya.
Pertama, kepala sekolah yang dapat berperan sebagai curriculum leader, yaitu penggagas dan pengambil keputusan aplikasi kurikulum. Peka untuk memberikan referensi-referensi ketika guru menghadapi kesulitan dalam menterjemahkan konsep ke praktek. Dalam hal-hal tertentu KS harus mengambil resiko untuk bertanggung jawab kalau kebijakan kurikulum sekolah berbeda dengan sekolah lain. Pengetahuan tentang kurikulum sangat perlu agar argumentasi dan penjelasan aplikasi kurikulum selalu dari perspektif filosofi kurikulum yang dijalankan dan demi kepentingan siswa.
Aplikasi kurikulum selalu mempertimbangkan isu-isu yang mungkin akan muncul sehingga strategi implementasi didisain dan melibatkan orang-orang kunci di sekolah. Seandainya ada pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan kebijakan kurikulum, KS harus mampu menjelaskan dengan disertai contoh dari best practices yang ditemukan.
Kedua, kepala sekolah adalah simbol ekspektasi sekolah. Visi dan misi sekolah sebenarnya mempunyai harapan-harapan untuk dioperasionalkan. Kepala sekolah harus mampu menangkap dan bekerja berdasarkan harapan tersebut. Harapan-harapan verbal yang disampaikan KS akan berpengaruh pada perilaku guru. Semakin kuat ekspektasi semakin banyak kemungkinan perilaku guru akan berubah. Inisiatif-inisiatif untuk bertindak guna memberikan dukungan bagi guru yang mecoba membuat implementasi berpengaruh pada kinerja guru dan mereka akan merasa aman untuk mencoba hal-hal baru.
Ketiga, kepala sekolah yang dapat membangun dan mengelola kultur kerja secara kolaborasi. Cara kerja seperti ini tidak muncul dengan sendirinya. Kerja tim dimulai dengan komitmen untuk membuat agenda rapat guru secara teratur dan terjadwal.
Bagaimana cara mengembangkan kompetensi kepala sekolah?
Prinsipnya sama dengan guru. Harus ada keberanian untk mengambil resiko dan mempunyai habit belajar dan terbuka. Kepala sekolah saat ini tidak sekedar menjadi pelaku kebijakan, melainkan sebagai pembuat dan pengelola kebijakan.
Masuk jejaring sangat membantu kepala sekolah karena akan saling memberikan inspirasi dan penguatan konsep-konsep yang dimilikinya. Kecenderungan kepala sekolah ketika masuk ke sebuah lingkaran jejaring, mudah terikat pada sistem sosial. Walaupun tidak setuju tapi tetap menjalankan program demi rasa solidaritas. Mereka tidak sependapat tapi tidak mau berbeda karena demi kebersamaan. Jejaring yang mengikat seperti ini menjadi tidak produktif karena hanya penguatkan aspek sosial. Tidak mendorong kepala sekolah untuk mengambil tindakan-tindakan inovatif.
Jejaring yang diharapkan adalah yang fokus pada pembentukan pola kerja berdasarkan pertimbangan-pertimbangan profesi. Semakin kuat dalam jejaring, semakin banyak hal yang didapat untuk dijadikan referensi pengembangan sekolah.
Kepala sekolah juga berperan menjadi opportunity seeke atau opportunty creatorr, mencari peluang pengembangan. Dengan ketrampilan belajarnya, KS melakukan evaluasi dan refleksi yang terus-menerus untuk menentukan target peningkatan berikutnya. Kalau ditanya, apa lagi yang perlu diperbaiki? KS dengan jelas dapat mengutarakan data-data yang perlu diperhatikan. KS sebagai agen yang dapat membentuk kultur perbaikan yang berkisambungan, continous improvement.
Bagaimana kalau misi kepala sekolah dalam menyelengarakan sekolah tidak sama dengan misi pendidikan entrepreneur?
Kemungkinan akan timbul masalah. KS akan menjadi part of the problem. Yang ideal KS sebagai part of the solution. Memang masih banyak KS yang sudah terlanjur terikat dengan satu referensi dan satu model, yaitu model yang telah diberikan oleh DIKNAS. Kalau sekolah diharuskan mengembangkan model sendiri, ada perasaan kuatir dan bersalah kalau tidak disetujui oleh pengawas. KS menjadi tidak percaya diri untuk menjalankan sistem yang berbeda, apalagi membuat sistem yang berbeda.
Pendidikan entreprepreneur tidak dapat bekerja dengan KS sepert itu. Kita memerlukan KS yang mempunyai jiwa dan spirit entrpreneur juga. Berani mengambil resiko dan selalu mencoba untuk berinovasi. Inovasi selalu menghasilkan dampak perbedaan. Perbedaan menjadi hal yang wajar.
Kita juga memerlukan KS yang komunikator, yang dapat menjelaskan ide-idenya dengan perspektif edukatif dan dengan pemilihan bahasa serta sikap yang dapat membuat audience memberikan respon positif. Seorang komunikator mempunyai cara untuk merespon ide-ide yang tidak sesuai dengan misi sekolah tanpa mengurangi penghargaan pada orangnya.
Peran Managemen Sekolah
Sistem managemen sekolah seperti apa yang sesuai dengan pendidikan entrepreneur?
Sekolah harus mengembangkan kultur sekolah yang tetap fokus pada continous improvement. Fokus kultur bekerja adalah kemajuan, yang didukung komunitas yang kolaboratif Setiap kemajuan menghasilkan dampak disharmony karena setiap orang mempunyai perbedaan dalam beradaptasi dengan ekspektasi misi sekolah. Disharmony inilah yang harus dikelola agar setiap orang fokus pada cara untuk memenuhi ekspektasi sekolah dan menghargai perbedaan yang muncul di antara mereka.
Kerja secara kolaborasi menjadi hal yang harus diciptakan, yaitu membuat setiap orang sadar akan tujuan target sekolah dan bertanggungjawab untuk memberikan kontribusi pada proses mencapai target. Kolaborasi tidak saling menggantungkan tapi saling bergantung. Satu bagian tidak menjalankan perannya seperti yang telah disepakati, target tim tidak akan tercapai. Setiap guru harus dibiasakan membuat rencana mengajar dalam tim dan mereka bertemu untuk membahas persiapan mengajar dalam waktu yang telah dijadwalkan.
Apakah ada prasyarat bagi sekolah untuk menerapkan sistem pendidikan entrepreneur?
Syarat yang paling utama adalah komitmen sekolah terhadap misi pendidikan entrepreneur. Sekolah yang setuju dengan prinsip-prinsip pendidikan entrepreneurship dan berkomitmen untuk mengaplikasikan serta mengembangkan kurikulum sesuai dengan konteks sekolah, dapat menerapkan sistem pendidikan entrepreneur.
Kurikulum pendidikan entrepreneurship sifatnya adalah evolutif, yaitu berkembang terus sejalan dengan temuan-temuan dari the best practices. Kekuatan kurikulum ini bukan pada banyaknya teori yang melandasinya, melainkan kontribusi para praktisi dalam mengembangkan dalam praktek sehari-hari. Selanjutnya temuan-temuan baru harus dibagikan ke sekolah lain agar dijadikan inspirasi pengembangan. Komitmen lain yang juga diharapkan adalah bersedia untuk berbagi. Perkembangan ilmu tidak akan bermanfaat banyak kalau hanya disimpan untuk dirinya sendiri. Sekolah yang menerapkan pendidikan entrepreneurship diwajibkan untuk terlibat dalam kultur berbagi, saling memberikan inspirasi bagi sekolah lain. Untuk memudahkan cara berbagi nantinya perlu dibuat sebuah forum komunitas
Sekolah harus menghindari sikap egois dan tertutup. Masih ada sekolah-sekolah yang sebenarnya sudah maju tapi tertutup bagi sekolah lain untuk belajar. Sekolah mejadi takut kalau ide-idenya dicontoh oleh sekolah lain. Akhirnya mereka menjadi saling berkompetisi dengan cara seperti kompetisi warung makan. Takut kalau resepnya dicuri oleh orang lain.
Bagaimana kalau orentasi sekolah yang sekarang hanya berorentasi pada nilai UN dan mau bergabung dalam komunitas?
Harus mengubah orentasi besarnya dulu. Bukan berarti sekolah tersebut mengabaikan sisitem UN. Namun arah penyelenggaraan sekolah tidak sekedar memenuhi harapan UN, Beyond the UN! Komunitas sekolah tersebut harus membuat kesepakatan ulang tentang misi sekolah. Misi yang lebih menyiapkan siswa untuk dapat berkreasi dan berinovasi. Tanpa perubahan pada orentasi sekolah, program hanya akan terjadi tambal sulam. Pendidikan entrepreneur hanya akan mendarat di permukaaan, dan tidak menjadi spirit yang menggerakan praktek penyelenggaraan sekolah. Kegiatan entreprenerial hanya sekedar kegiatan-kegiatan jual beli.
Bagaimana dengan sekolah yang sudah punya framework kurikukum dari negara lain?
Bisa saja dikombinasikan asal filosofi kurikulumnya tidak bertentangan. Sekarang memang ada sekolah yang mengimport kurikulum dari negara lain. Ada sekolah yang memang setuju dengan filosofi tersebut, namun ada sekolah yang menganggap kurikulum sebagai "merek dagang". Supaya lebih terkenal, sekolah tersebut menggunakan kurikulum negara lain.
Sistem pendidikan entrepreneur yang sedang dirintis tidak menggunakan prinsip tersebut. Kurikulum sehebat apapun tidak akan berfungsi dengan baik kalau SDM sekolah tidak dapat mengelola kurikulum. Lebih baik belajar untuk mengembangkan dan mengelola kurikulum sambil menjiwai kurikulum tersebut. Kita ingin menumbuhkan rasa percaya diri di kalangan praktisi bahwa guru kita mampu untuk mengelola dan mengembangkan kurikulum. Referensi kurikulum sudah banyak dan mudah diakses, sehingga tidak perlu kuatir kalau kurikulum entrepreneur tidak sesuai dengan prinsip-prinsip kurikulum . Memang kemampuan tidak lahir secara otomatis, perlu proses bekerja secara kolaborasi
Keberhasilan sekolah bukan terletak pada kurikulum dan sarana sekolah. Namun pada kualitas SDM yang inovatif dan berani mengambil resiko untuk bekerja dan mengembangkan kurikulum dan mengelola sarana yang ada. Guru-guru yang potensial sebaiknya mempunyai wadah untuk berkreasi dan berbagi dan perlu diberi kesempatan untuk belajar, berkreasi di bidang kurikulum.
Sekolah harus mengembangkan kultur sekolah yang tetap fokus pada continous improvement. Fokus kultur bekerja adalah kemajuan, yang didukung komunitas yang kolaboratif Setiap kemajuan menghasilkan dampak disharmony karena setiap orang mempunyai perbedaan dalam beradaptasi dengan ekspektasi misi sekolah. Disharmony inilah yang harus dikelola agar setiap orang fokus pada cara untuk memenuhi ekspektasi sekolah dan menghargai perbedaan yang muncul di antara mereka.
Kerja secara kolaborasi menjadi hal yang harus diciptakan, yaitu membuat setiap orang sadar akan tujuan target sekolah dan bertanggungjawab untuk memberikan kontribusi pada proses mencapai target. Kolaborasi tidak saling menggantungkan tapi saling bergantung. Satu bagian tidak menjalankan perannya seperti yang telah disepakati, target tim tidak akan tercapai. Setiap guru harus dibiasakan membuat rencana mengajar dalam tim dan mereka bertemu untuk membahas persiapan mengajar dalam waktu yang telah dijadwalkan.
Apakah ada prasyarat bagi sekolah untuk menerapkan sistem pendidikan entrepreneur?
Syarat yang paling utama adalah komitmen sekolah terhadap misi pendidikan entrepreneur. Sekolah yang setuju dengan prinsip-prinsip pendidikan entrepreneurship dan berkomitmen untuk mengaplikasikan serta mengembangkan kurikulum sesuai dengan konteks sekolah, dapat menerapkan sistem pendidikan entrepreneur.
Kurikulum pendidikan entrepreneurship sifatnya adalah evolutif, yaitu berkembang terus sejalan dengan temuan-temuan dari the best practices. Kekuatan kurikulum ini bukan pada banyaknya teori yang melandasinya, melainkan kontribusi para praktisi dalam mengembangkan dalam praktek sehari-hari. Selanjutnya temuan-temuan baru harus dibagikan ke sekolah lain agar dijadikan inspirasi pengembangan. Komitmen lain yang juga diharapkan adalah bersedia untuk berbagi. Perkembangan ilmu tidak akan bermanfaat banyak kalau hanya disimpan untuk dirinya sendiri. Sekolah yang menerapkan pendidikan entrepreneurship diwajibkan untuk terlibat dalam kultur berbagi, saling memberikan inspirasi bagi sekolah lain. Untuk memudahkan cara berbagi nantinya perlu dibuat sebuah forum komunitas
Sekolah harus menghindari sikap egois dan tertutup. Masih ada sekolah-sekolah yang sebenarnya sudah maju tapi tertutup bagi sekolah lain untuk belajar. Sekolah mejadi takut kalau ide-idenya dicontoh oleh sekolah lain. Akhirnya mereka menjadi saling berkompetisi dengan cara seperti kompetisi warung makan. Takut kalau resepnya dicuri oleh orang lain.
Bagaimana kalau orentasi sekolah yang sekarang hanya berorentasi pada nilai UN dan mau bergabung dalam komunitas?
Harus mengubah orentasi besarnya dulu. Bukan berarti sekolah tersebut mengabaikan sisitem UN. Namun arah penyelenggaraan sekolah tidak sekedar memenuhi harapan UN, Beyond the UN! Komunitas sekolah tersebut harus membuat kesepakatan ulang tentang misi sekolah. Misi yang lebih menyiapkan siswa untuk dapat berkreasi dan berinovasi. Tanpa perubahan pada orentasi sekolah, program hanya akan terjadi tambal sulam. Pendidikan entrepreneur hanya akan mendarat di permukaaan, dan tidak menjadi spirit yang menggerakan praktek penyelenggaraan sekolah. Kegiatan entreprenerial hanya sekedar kegiatan-kegiatan jual beli.
Bagaimana dengan sekolah yang sudah punya framework kurikukum dari negara lain?
Bisa saja dikombinasikan asal filosofi kurikulumnya tidak bertentangan. Sekarang memang ada sekolah yang mengimport kurikulum dari negara lain. Ada sekolah yang memang setuju dengan filosofi tersebut, namun ada sekolah yang menganggap kurikulum sebagai "merek dagang". Supaya lebih terkenal, sekolah tersebut menggunakan kurikulum negara lain.
Sistem pendidikan entrepreneur yang sedang dirintis tidak menggunakan prinsip tersebut. Kurikulum sehebat apapun tidak akan berfungsi dengan baik kalau SDM sekolah tidak dapat mengelola kurikulum. Lebih baik belajar untuk mengembangkan dan mengelola kurikulum sambil menjiwai kurikulum tersebut. Kita ingin menumbuhkan rasa percaya diri di kalangan praktisi bahwa guru kita mampu untuk mengelola dan mengembangkan kurikulum. Referensi kurikulum sudah banyak dan mudah diakses, sehingga tidak perlu kuatir kalau kurikulum entrepreneur tidak sesuai dengan prinsip-prinsip kurikulum . Memang kemampuan tidak lahir secara otomatis, perlu proses bekerja secara kolaborasi
Keberhasilan sekolah bukan terletak pada kurikulum dan sarana sekolah. Namun pada kualitas SDM yang inovatif dan berani mengambil resiko untuk bekerja dan mengembangkan kurikulum dan mengelola sarana yang ada. Guru-guru yang potensial sebaiknya mempunyai wadah untuk berkreasi dan berbagi dan perlu diberi kesempatan untuk belajar, berkreasi di bidang kurikulum.
Bagaimana cara memperkenalkan program ini ke masyarakat?
Seperti yang pernah dijelaskan di atas, sekolah perlu membuat program-program pendidikan untuk orang tua. Mereka perlu tahu dengan jelas tentang aspek-aspek kekuatan dar sistem kurikulum dan alasan mengapa sekolah memakainya. Tidak semua orang tua langsung setuju. Mereka juga perlu proses bahkan kadang-kadang bukti untuk menjadi percaya dan medukung program ini.
Sekolah perlu membuat sesi komunikasai dengan para orang tua. Ibarat sebuah perusahaan, sekolah perlu mempromosikan program sekolah. Yang perlu diperhatikan adalah rasa percaya diri dan kesepakatan di internal sekolah. Kalau masih ada perbedaan belief di tingkat sekolah, orang tua juga akan ragu.
Bagaimana mengatasi hambatan yang terjadi?
Tergantung jenis hambatan. Kalau hambatan masih dilevel belief harus banyak diskusi dengan menggunakan referensi best practices dari seting sekolah lain. Kalau hambatan di level kebijakan, sekolah perlu membuat kesepakatan-kesepakatan baru yang tertuang dalam kebijakan sekolah. Hambatan dilevel teknis, misal guru tidak mampu, dapat diatasi dengan training atau lokakarya.
Dalam tahap awal perlu ada fleksibilitas dan keterbukaan dari semua unsur. Masing-masing tidak bisa menggunakan standar dan pengalaman sendiri. Ada kompromi-kompromi waktu dan proses. Tapi bukan kompromi di level standar kwalitas.
Yayasan penyelenggara sekolah memegang peranan penting dalam tahap implementasi. Anggota yayasan harus sepakat dengan misi sekolah dan mendukung proses implementasinya. Akan banyak kesulitan kalau misi anggota yayasan dan staf sekolahnya tidak sama. Kalau ada anggota yayasan yang punya filosofi yang terbatas dalam mengukur keberhasilan sekolah, yaitu melalui skor nilai UN saja, perlu ada kesepakatan baru.
Apakah sistem ini hanya cocok untuk sekolah yang mempunyai prasarana yang lengkap?
Tidak, Prasarana adalah unsur pendukung, bukan yang utama, asal komunitas sekolah sepakat menempatkan dirinya sebagai profesional yang mengelola sarana. Guru yang baik adalah pengelola dan pencipta sarana. Bukan pengguna sarana. Mereka di atas sarana, tidak dibawah sarana.
Walaupun begitu, sekolah tetap perlu secara bertahap menambah sarana belajar agar hasil belajar siswa lebih baik. Buku-buku yang memberikan inspirasi siswa dan guru sangat perlu utnuk diadakan. Buku paket menjadi bukan satu-satunya sumber belajar bukan satu-satunya sumber belajar dan mengajar.
Sumber : http://www.ciputra.org/
Seperti yang pernah dijelaskan di atas, sekolah perlu membuat program-program pendidikan untuk orang tua. Mereka perlu tahu dengan jelas tentang aspek-aspek kekuatan dar sistem kurikulum dan alasan mengapa sekolah memakainya. Tidak semua orang tua langsung setuju. Mereka juga perlu proses bahkan kadang-kadang bukti untuk menjadi percaya dan medukung program ini.
Sekolah perlu membuat sesi komunikasai dengan para orang tua. Ibarat sebuah perusahaan, sekolah perlu mempromosikan program sekolah. Yang perlu diperhatikan adalah rasa percaya diri dan kesepakatan di internal sekolah. Kalau masih ada perbedaan belief di tingkat sekolah, orang tua juga akan ragu.
Bagaimana mengatasi hambatan yang terjadi?
Tergantung jenis hambatan. Kalau hambatan masih dilevel belief harus banyak diskusi dengan menggunakan referensi best practices dari seting sekolah lain. Kalau hambatan di level kebijakan, sekolah perlu membuat kesepakatan-kesepakatan baru yang tertuang dalam kebijakan sekolah. Hambatan dilevel teknis, misal guru tidak mampu, dapat diatasi dengan training atau lokakarya.
Dalam tahap awal perlu ada fleksibilitas dan keterbukaan dari semua unsur. Masing-masing tidak bisa menggunakan standar dan pengalaman sendiri. Ada kompromi-kompromi waktu dan proses. Tapi bukan kompromi di level standar kwalitas.
Yayasan penyelenggara sekolah memegang peranan penting dalam tahap implementasi. Anggota yayasan harus sepakat dengan misi sekolah dan mendukung proses implementasinya. Akan banyak kesulitan kalau misi anggota yayasan dan staf sekolahnya tidak sama. Kalau ada anggota yayasan yang punya filosofi yang terbatas dalam mengukur keberhasilan sekolah, yaitu melalui skor nilai UN saja, perlu ada kesepakatan baru.
Apakah sistem ini hanya cocok untuk sekolah yang mempunyai prasarana yang lengkap?
Tidak, Prasarana adalah unsur pendukung, bukan yang utama, asal komunitas sekolah sepakat menempatkan dirinya sebagai profesional yang mengelola sarana. Guru yang baik adalah pengelola dan pencipta sarana. Bukan pengguna sarana. Mereka di atas sarana, tidak dibawah sarana.
Walaupun begitu, sekolah tetap perlu secara bertahap menambah sarana belajar agar hasil belajar siswa lebih baik. Buku-buku yang memberikan inspirasi siswa dan guru sangat perlu utnuk diadakan. Buku paket menjadi bukan satu-satunya sumber belajar bukan satu-satunya sumber belajar dan mengajar.
Sumber : http://www.ciputra.org/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar