Selasa, 01 Januari 2013

Pentingnya Aplikasi Pendidikan Entrepreneur di Sekolah.

 
Para Super learner's yang saya cintai, sepanjang sepuluh tahun ini kita oleh Ir. Ciputra telah diperkenalkan konsep Entrepreneur / biasa diartikan sebagai Pendidikan Kewira Usahaan untuk diajarkan di sekolah. Tujuan diperkenalkannya  konsep Entrepreneur adalah untuk membuka wawasan siswa untuk berusaha mencari dan menciptakan peluang usaha untuk dirinya sendiri serta menciptakan lapangan kerja untuk orang lain di sekitarnya. Namun kita nampaknya masih perlu menebar bibit konsep Entrepreneur ini sebanyak-banyaknya agar semakin banyak para Super learner's yang terbuka konsep berpikirnya untuk ikut mencari dan menciptakan peluang kewirausahaan bagi dirinya sendiri dan menyebarkan wiawasan dan pengalamannya kepada sesamanya disekitarnya. Diharapkan dengan cara demikian para Super learner's bisa ikut berperan serta mengurangi volume pencari kerja, demi kemajuan bangsa dan negara tercinta di Indonesia ini.


Mengapa pendidikan entrepreneur diperlukan?

Karena praktek pendidikan kita memerlukan terobosan-terobosan baru agar terjadi perkembangan inovasi dalam praktek penyelenggaraan sekolah atau pembelajaran. Inovasi yang tidak sekedar di level metodologi atau pendekatan mengajar. Melainkan dari arah mendidik, model kurikulum, sampai strategi mengelola sekolah.


Inovasi ke arah mana? 

Arah yang sangat mungkin dirintis adalah membuat sebuah sistem penyelenggaraan sekolah dan pembelajaran yang menyiapkan siswa ke arah kemandirian untuk berkreasi dan berinovasi sehingga sswa secara bertahap membangn cara berpikir untuk hidup secara mandiri atau mempunyai kesadaran tentang self employment. Isu ini penting agar bangsa ini mempunyai generasi baru yang punya mindset untuk berkreasi dan berinovasinya, (Garder,2007). Bahkan tidak cukup kalau hanya sekedar berkreasi. Kreasi yang berdasarkan kesempatan yang diperoleh dari proses eksplorasi. Hasil kreatifitas harus dikomunikasikan dan dipromosikan agar dihargai oleh orang lain.

Pendidikan kita selama ini mengarahkan siswa "berhenti" di proses memahami. Kalau sudah paham dengan fakta dan konsep yang diajarkan, dipandang cukup. Untuk melihat pemahaman yang dikuasai, siswa dites atau dengan isitilah "ulangan". Walaupun proses memahami dapat dinyatakan melalui proses belajar siswa secara aktif melalui aktifitas-aktifitas yang menyenangkan. Tapi akhir dari pembelajaran tetap membuat siswa paham.


Apakah proses memahami adalah proses yang salah?

Bukan masalah benar dan salah. Ini masalah perubahan orentasi belajar. Belajar untuk era sekarang tidak cukup kalau berhenti dalam tahapan memahami. Tahapan harus dilanjutkan ke proses menghasilkan. Siswa harus dilatih untuk memfungsikan pengetahuan dan skills yang telah dimiliki untuk dapat menghasilkan ciptaan yang bernilai. Dengan kata lain seorang yang belajar akan selalu "menantang" dirinya dengan pertanyaan, "Dengan pengetahuan dan kecakapan yang saya miliki, saya dapat menghasilkan apa?" dan "Apakah inovasi yang saya akan hasilkan dapat diterima oleh komunitas?" Proses menghasilkan inovasi yang diterima oleh komunitas inilah yang akan menjadi penekanan dalam pendidikan entrepreneur tingkat TK - SMA.


Apa dampak yang diharapkan dari arah pendidikan seperti itu?

Sangat luas! Generasi yang tidak terjebak pada kebingungan seperti yang terjadi sekarang ini. Banyak orang bingung ketika terjadi perubahan. Bahkan dilevel sekolahpun terjadi banyak kebingungan ketika sebuah sistem kurikulum berubah. Mengapa? Karena komunitas sekolah sudah terjebak sikap pasif dan konsumtif, mereka hanya sekedar menerima dan menjalankan sistem. Ketika dituntut untuk mengembangkan dan menghasilkan kurikulum sekolah sendiri dan berinovasi dengan standar kurikulum yang ada mereka menjadi bingung.

Kita tidak boleh mengulangi untuk mencetak generasi yang seperti itu. Kita harus mempunyai generasi yang terbiasa menghasilkan hal-hal baru, mencari kemungkinan-kemungkinan pengembangan.

Generasi yang mandiri untuk berkreasi. Sebuah generasi yang mempunyai spirit, mindset dan ketrampilan untuk membuat terobosan-terobosan. Pendidikan diarahkan untuk mendorong lahirnya generasi yang tidak sekedar mengulangi apa yang telah dikerjakan oleh generasi sebelumnya. Generasi yang mampu menghasilkan ide-ide dan inovasi baru yang dapat diterima oleh masyarakat.


 

Mengapa harus lewat sekolah?

Sekolah mempunyai potensi untuk mencetak generasi seperti itu lewat proses pembelajaran. Kalau kita dapat mengembangkan sistem kurikulum sekolah dan pembelajaran yang membuat siswa berkreasi, genereasi muda kita akan mempunyai kesempatan 12 tahun untuk belajar dan berlatih. Itu waktu yang sangat panjang dan potensial untuk membuat landasan jiwa kemandirian dan ketrampilan-ketrampilan yang diperlukan. Sehingga ketika siswa masuk ke perguruan tinggi, mereka tinggal memperdalam lewat bidang masing-masing. Kalau mereka memilih usaha sendiri, mereka telah dibekali dengan mindset yang berkembang, (Dweck,2007) dan ketrampilan hidup yang sesuai dengan eranya.


Mengapa melalui jalur entrepreneursip?

Jalur entrepreneurship adalah sebuah pilihan yang dianggap potesial untuk dikembangkan.
Pertama : banyak fakta di sekitar siswa tentang tokoh-tokoh entrepreneur yang telah banyak memberikan kontribusi pada perkembangan ekonomi dan sosial. Ini dapat menjadi dorongan yang luar biasa Hal yang dipelajari siswa akan menjadi sangat kongkrit dan dapat dilihat sehari-hari. Banyak sumber belajar yang dapat dipakai. Pembelajaran menjadi sebuah proses interaksi yang menarik antara realitas yang ditemukan dengan siswa yang belajar.

Entreprenur mempunyai spirit dan jiwa yang terus ingin tetap maju, berkembang, dan mandiri. Mereka telah memberikan banyak kontribusi pada kemajuan ekonomi bangsa dan memberikan lapangan kerja Kalau sekolah dapat membentuk mindset seperti ini dalam generasi muda, diharapkan mereka sedikit demi sedikit akan berpikir untuk mandiri dalam bidang ekonomi juga. Banyak hal lain yang menarik dan dapat dipelajari dari karakter dan skills seorang entrepreneur seperti keberanian mengambil resiko, strategi mengatasi masalah, kemampuan berkomunikasi, cara mengubah ide menjadi sebuah rencana, cara menangkap dan mengeleloa peluang. Karakter dan skills seperti itu sangat penting untuk dipelajari dan diaplikasikan di semua bidang di era sekarang.

Kedua. Pendidikan entrepreneur sudah banyak diterapkan di banyak negara seperti negara-negara eropa dan Amerika sehingga paling tidak kita tidak berangkat dari nol dalam mengembangkan sistem ini. Sudah ada contoh-contoh yang dapat dijadikan inspirasi pengembangan. Dari sisi metodologi dan kurikulum yang ada, seperti pendekatan belajar inquiry dan problem based, (Barell, 2000) kita dapat mengembangkan sistem penyelenggaraan sekolah dan pembelajaran yang dapat mendukung pendidikan dengan wawasan entrepreneur.


Apakah tidak bertentangan dengan prinsip pendidikan karena akan menutup kemungkinan lain bagi siswa karena semua diarahkan ke entrepreneur? 

Sangat bergantung dari pengertian entrepreneur yang disepakati. Sebelum mengembangkan sistem kurikulum kita harus sepakat dengan karakteristisk entrepreneur itu sendiri

Secara umum pendidikan mempunyai dua tugas besar. Pertama menyiapkan generasi yang punya kemampuan adaptasi terhadap ekspektasi lingkungan. Kedua, menyiapkan agar mereka mampu mengatasi masalah-masalah yang ditemukan dengan cara-cara baru. Melalui yang pertama siswa belajar untuk memahami kondisi dan pola yang ada di sekitar mereka. Sedangkan yang kedua mendorong siswa untuk berinovasi. Dua fungsi tersebut harus dioperasionalkan secara seimbang. Pengembangan pendidikan melalui model entrepreneur menjadi alternatif yang sesuai dengan dua fungsi pendidikan tersebut karena pendidikan entrepreneur sangat menekankan pada pembentukan perilaku mencipta

Ada sebuah realitas lain yang sedang dihadapi oleh bangsa ini yaitu masalah pengangguran dan ketenagakerjaan. Selama ini pendidikan telah berhasil membuat mindset generasi pencari kerja. Hampir semua lulusan sibuk mencari kerja sedangkan lapangan kerja sangat terbatas. Kalau pendidikan entrepreneur dapat mendorong generasi mandiri di bidang ekonomi, bukankah itu akan menjawab salah satu persolan besar bangsa ini?


Kata entretreneur cenderung mempunyai konotasi bisnis, apakah berarti sisiwa akan hanya diarahkan ke dunia bisnis?

Karena selama ini kita banyak diekspos dengan entrepreneur di bidang bisnis, konotasi entrepreneur selalu hanya berkaitan dengan bisnis. Sebaiknya kita memahami entrepreneur sebagai sebuah "spirit atau mindset" yang didukung dengan kemampuan-kemampuan tertentu dibidangnya. Misal mindset untuk berinovasi dibidang IT sehingga memerlukan ketrampilan yang mendukung untuk berinovasi dibindang tersebut, sehingga hasil inovasinya diterima atau dihargai oleh orang lain. Orang seperti ini sekarang disebut menjadi technopreneur. Kalau spirit dan mindset dikontekskan di bidang sosial, menjadi social entrepreneur. Kalau di pemerintahan, menjadi government entrepreneur.

Singkatnya kita dapat mengembangkan sistem pendidikan entrepreneur untuk SD - SMA tanpa harus membatasi peluang masa depan siswa. Kita hanya akan mengembangkan nilai-nilai, mindset dan ketrampilan dasar yang berhubungan dengan entrepreneur


Bagaimana dengan realitas sikap masyarakat yang masih mengidolakan ujian nasional (UN)?

Kita memerlukan kondisi baru yang harus diciptakan oleh sekolah melalui sebuah proses. Kalau sekolah ingin jalan yang mudah, ya sudah ikuti saja kondisi yang sekarang ada. Tidak perlu ada inovasi dan terobosan, atau membuat terobosan kalau kondisi masyarakat sudah berubah. Sekolah hanya bekerja untuk memenuhi tuntutan kondisi yang ada yatu UN. Sekolah boleh memilih sikap seperti ini, terutama sekolah yang menggunakan kebijakan pemerintah (UN) menjadi satu-satunya standar kebijakan sekolah.

Sekolah yang mempunyai visi dan misi tidak "pasrah" pada sebuah kondisi yang ada. Melainkan mengelola kondisi agar dapat menciptakan alternatif-alternatif baru. Sekolah seperti ini akan cocok kalau ingin menerapkan sistem pendidikan entrepreneur karena sudah mempunyai spirit dan tekad untuk berinovasi. Kondisi UN tidak akan dijadikan halangan. Justru sekolah akan membuat target beyond the UN. Sekolah akan mencari dan menciptakan nilai tambah berdasarkan belief yang diyakini.

Sekolah seperti ini tidak mau terjebak dalam satu standar referensi, melainkan akan mencari dan mempertimbangkan hal-hal penting seperti parents' expectation, teaching profesion, ICT, dan perkembangan dalam disiplin ilmu yang lain. Hal yang dipertimbangkan dalam pengembangan sekolah tidak sekedar apa yang diharapkan oleh DIKNAS. Lebih dari itu! Sekolah yakin kalau kita tidak akan dapat menyiapkan genereasi muda yang produktif kalau sekedar hanya memenuhi standar UN. Banyak ketrampilan hidup yang harus diperkenalkan dan dilatihkan ke siswa secara sistematis dan terpola. Ini memang sebuah idealisme tapi sekaligus juga sebuah kebutuhan.

An entrepreneur is : "The person who habitually creates and innovates to build something of recognized values around perceived opportunities"
(Bolton & Thompson, 2005)

Pendidikan entrepreneur ingin mengajak para praktisi pendidikan untuk terbuka dengan isu yang berkembang di luar teori pembelajaran. Sinergi entrepreneurship dan teori belajar akan menjadi sebuah terobosan. Kalau sekolah dapat mengintegrasikan dua bidang tersebut, mengapa tidak mencoba?


Apakah tidak bertentangan dengan harapan dan peraturan pemerintah?

Harapan pemerintah terwujud melalui sistem managemen sekolah dan kurikulum. Sebenarnya pemerintah sudah memberi keleluasaan bagi sekolah untuk berkembang berdasarkan visi dan misi, yaitu melalui managemen berbasis sekolah. Pemerintah juga hanya menyediakan batasan-batasan melalui kerangka kurikulum yang disebut kurikulum KTSP. Kurikulum jelas memberi perintah pada setiap sekolah untuk mengembangkan kurikulum sendiri berdasarkan panduan yang diberikan. Sekolah mempunyai kewenangan untuk mengembangkan kurikulum sekolah berdasarkan nilai-nilai yang diyakini, (Bolstad, 2004). Mengapa ini tidak dimanfaatkan menjadi sebuah peluang bagi sekolah untuk mengembangkan kurikulum dengan wawasan entrepreneur?

Selama ini banyak sekolah sudah terjebak dalam sebuah cara berpikir, kalau pemerintah A semuanya harus A. kalau diminta B sekolah melakukan B. Padahal sekolah dapat saja mengerjakan A+ atau AA, atau A+B. Begitu juga kalau pemerintah minta B, dapat juga sekolah melakukan B+A, atau B+A+C. Pokoknya kalau sekolah dapat memenuhi standar minimal yang diminta, pemerintah akan setuju, bahkan harus berterimakasih karena masih ada sekolah yang berinovasi.

Kemampuan untuk mengelaborasi adalah menjadi unsur yang penting kalau sekolah mau berkembang. Dari A menjadi A+ , A+B, atau A+ entrepreneur adalah bukan sebuah kesalahan namun sebuah keberanian dan kemampuan yang perlu didorong dan dikembangkan. Sekolah di era sekarang tidak cukup kalau berkembang dengan satu referensi saja. Sekolah harus membiasakan diri untuk mengolah informasi dari berbagai sumber untuk mendukung fokus pengembangan yang dilakukan dengan beresinambungan.

Sumber : http://www.ciputra.org/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar